1

20.2K 992 192
                                    

🚫 Warning : Part awal mungkin membosankan. Banyak yang baru menjamah prolog, langsung kabur. Coba kalian ikuti cerita ini sampai part ke-10. Bisa jadi kalian, cinta. Hahah.🤏

Sebelum lanjut, mari jawab pertanyaan ini;

1. Nemu cerita ini di mana?
2. Apa yang membuatmu tergerak membaca cerita ini?

Note; cerita ini belum revisi, Jadi memang acakadul banget. Jangan lupa kunjungi work saya yang lain, ya.

Salam manis,

Kak Upi.🙏❤️

-----

"Dari mana kamu?" tanya seorang perempuan paruh baya yang mengenakan setelah piyama berwarna abu-abu dengan rambut dicepol asal.

Sedangkan, yang diberi pertanyaan beraut malas dan tak acuh. "Tempat temen, Mi," jawabnya dengan nada rendah. Kepalanya digaruk-garuk karena gatal. Raut wajahnya pun tidak karuan masam.

"Mami kan udah bilang sama kamu, jangan pulang malem-malem, Reval!" tegas Feli--mami Reval dengan bersungut-sungut.

"Reval udah gede, Mi. Reval udah bisa jaga diri." Ia membela diri. Reval paling tidak suka dikekang seperti ini, apalagi sekarang ia bukan anak kecil lagi.

"Kamu masih 16 tahun, bahkan KTP aja belum punya, udah bilang gede aja." Terdengar suara lelaki paruh baya menyahut. Revan--papi Reval--menghampiri dua insan yang kini sedang berdebat.

Reval berdecak malas, kini lawan debatnya bertambah satu. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding dan mengatur napas. Tangannya disilangkan di depan dada, lalu berucap, "Aku bukan bocah lima tahun yang apa-apa harus dikasih tau! Reval udah gede, Pi! Mi!"

"Mami begini, kan, buat kebaikan kamu juga, Reval. Mami sama Papi nggak mau kamu kenapa-kenapa," ujar Feli mencoba untuk menasihati anaknya yang memang di masa remaja ini sulit untuk diatur.

"Iya-iya, Reval yang salah. Orang tua selalu benar. Ya udah Reval ke kamar dulu ya, pasangan suami isteri ...." Reval akhirnya mengalah dari perdebatan yang sudah sering terjadi itu. Ia berlari menuju kamar seraya melambai-lambaikan tangannya ke udara.

Reval heran, mengapa selalu saja terkena amukan dari maminya. Padahal bagi sebagian besar remaja pada umumnya, itu adalah hal yang wajar ketika pulang pukul 10 malam. Mereka saja yang terkesan lebai dan berlebihan.

"Didikan kamu, tuh!" sinis Feli, sorot matanya melirik Revan--suaminya dengan malas.

"Enak aja! Kamu, kan, yang manjain Reval dulu?" Revan tidak terima, ia membalikkan fakta yang dilontarkan istrinya.

"Siapa, hm?" Feli melirihkan suaranya, tak lupa disertai tatapan mematikan yang diarahkan untuk Revan.

"Kamu."

"Jadi aku yang salah, hm?"

"Ya iya, pake tanya!"

"Istri itu nggak pernah salah!" Feli berseru. "Tidur di luar!" imbuhnya lalu melenggang pergi menuju kamar meninggalkan sang suami. Tak lupa, mengunci pintu kamarnya.

"Masuk kadang macan lagi." Revan mengusap wajahnya gusar.

•••

Pagi yang cerah dengan matahari mulai menampakkan sinarnya tak mempan untuk membangunkan cowok itu. Ia masih berkalut dalam mimpinya, bergulung selimut pula. Tidak peduli matahari semakin naik, toh juga ia sering berangkat terlambat ke sekolah. Jadi, tidak perlu berjaga-jaga.

Pintu terbuka memperlihatkan anak kecil berumur sepuluh tahun yang sudah memakai seragam SD-nya lengkap. Exelio Joy Naranda—adik dari Reval. Exel duduk di kelas lima Sekolah Dasar yang berada di dekat rumahnya. Ia sama pintarnya dengan Reval, sama ngelunjaknya dengan Reval. Namun, Exel lebih rajin daripada kakaknya yang bangkong ini.

"Bang!"

"Bang Epal!!" Exel mencoba membangunkan Reval yang masih berkalut pada selimutnya.

"Berisik, Xel," cibir Reval dengan nada khas orang bangun tidur. "Sana! berangkat aja kamu, nggak usah ganggu tidur Abang!" bentak Reval. Ia menghempas-hempaskan tangannya ke udara, sementara matanya masih tertutup enggan membuka.

"Aku bakal aduin mami kalo Abang gak mau bangun!" ancam Exel untuk membuat Reval was-was. Exel tahu, segala apa yang menyangkut tentang mami, Abangnya ini akan selalu angkat tangan.

"Off, ngaduan."

"Cepetan, anterin aku sekolah, Bang!" ucap Exel merengek dan menarik piyama yang dikenakan cowok itu.

"Iya-iya, Bawel! Sana turun Adikku sayang." Reval tersenyum tidak ikhlas lalu melempar Exel dengan bantal yang mempunyai ukuran lumayan besar.

Exel mendengkus kesal. "Aku tunggu di bawah, Bang. Cepet!" teriak Exel lalu membanting keras pintu kamar Reval. Tidak peduli jika Reval akan marah, Exel bahkan tidak takut sama sekali.

"Astaghfirullah, mimpi apa punya adek laknat begitu."

•••

Reval keluar dari kamar sudah menggunakan seragamnya yang tidak rapi. Baju dikeluarkan, kerah terbuka, dasi terbengkalai. Ah, sudah tidak pantas disebut dengan anak sekolahan. Namun, ada satu opsi yang menolong--ketampanannya.

"Bang, nggak mau sarapan dulu?"  Feli menawarkan.

"Nggak Mi, nanti di kantin aja. Kasian Adek Abang tersayang ini nungguin." Reval mengunyel-unyel pipi Exel lalu memeluknya dari belakang.

Exel merasa kesal diperlakukan Reval seperti itu, baginya, sangat menjijikkan. "Aku normal, Bang!"

"Ih, amit-amit! Abang juga normal, kali!" Reval mengusap-usap badannya yang tadi sempat bersentuhan dengan badan Exel.

"Normal kok peluk peluk aku! Mi ... Pi ... Abang gak normal." Exel terus mengompori Feli dan Revan dan membuat Reval kesal.

"Adek laknat kamu ya, nggak usah didengerin Mi, anak Bagong mah gitu." Reval mencibir.

"Apa?! Secara nggak sadar kamu ngatain papi Bagong!" Revan melotot tajam ke arah Reval karena merasa tidak terima dengan ucapan anak sulungnya barusan.

"Astaghfirullah, Papi nggak boleh suudzon. Aku nggak bilang loh, Papi sendiri yang ngomong gitu. Ya nggak, Mi?" Reval bertanya pada Feli seraya menaik-turunkan alisnya.

"Mau Mami sumpel pake sambel, hah?!" bentak Feli sembari mengambil sendok berisi sambal berwarna merah terang itu dan bersiap menjejalkannya ke mulut Reval.

"Ampun, Mi! Exel, ayok berangkat cepetan!" Reval menarik tangan Exel paksa sampai bocah kecil itu tersandung-sandung.

•••

To be continued ....

Selesai revisi, kalau ada salah, mohon tandai, ya!

—Salam Sayang dariku, Upi.💜

REVALESTA (END)Where stories live. Discover now