3

5.5K 502 76
                                    

"Al, lo mau ikut kita, enggak?" tanya seorang gadis cantik dengan rambut dikuncir kuda dan memiliki kulit putih bersih.

Allesta mengusap kedua matanya yang nampak buram untuk melihat. Ia terbangun dari tidurnya karena bunyi berisik yang dihasilkan oleh Tara dan Nesa—sahabatnya.

"Nggak deh, mager!" Allesta menjawab ketus, matanya masih ingin terpejam. Ia rasa, nyawanya belum terkumpul semua. Tara dan Nesa begitu berisik hingga mengusik ketenangan tidurnya.

"Halah, mager apa mager, biasanya habis ini lo jalan sama si Bisma!" Nesa mengelak total jawaban dari Allesta.

Allesta menyengir kuda hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. Namun, sedetik kemudian wajahnya kembali datar. "Kali ini nggak, deh. Sumpah gue capek, pengen rebahan." Allesta menunjukan dua jarinya. Rasanya sangat lelah dan mengantuk. Ia ingin tidur kembali.

"Udah kayak pembantu rumah tangga aja lo pake alesan capek segala," cibir Tara. Allesta sangat tidak asik, saat ingin jalan-jalan seperti ini, gadis itu malah beralasan tidak ikut.

"Udah lah! Kalo lo berdua mau pergi, ya pergi aja. Sana! Huss!" usir Allesta sambil mengibaskan tangannya ke udara.

"Astaghfirullah, untung temen." Nesa mengusap-usap dadanya sambil beristighfar.

Allesta langsung menutup pintu rumahnya, ia tidak perduli Tara dan Nesa masih di depan rumah. Memang, Allesta hanya mempunyai hati separuh, jadi wajar saja perasaannya juga separuh.

Allesta merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sedikit lagi ia memejamkan mata, tetapi suara deringan ponsel mengganggu pendengarannya.

"Aih, siapa, sih? Ganggu orang aja!" gerutunya kesal, tangannya meraba-raba nakas untuk mengambil ponsel yang berada di sana.

"Halo."

"Siang, Al." Dari suaranya, Allesta bisa menebak siapa di balik suara itu. Ia menghela napas berat.

"Ngapain sih, ganggu aja. Aku mau tidur." Sungguh, ia sangat mengantuk dan ingin tidur--tidak mau diganggu.

"Jalan yuk, Al!"

"Aku mau tidur, Bis. Besok aja jalannya."

"Tap—"

Allesta cepat mematikan sambungan telepon itu. Ia menaruh ponsel di samping tubuhnya lalu berusaha memejamkan matanya kembali. Tidak bisa! Ponselnya berulang kali berdering. Gadis itu menghela napas berat, sudah ia katakan tidak mau, tetapi masih saja nekat.

"Kan aku udah bilang aku ngantuk, Bisma. Besok aja deh, jalannya. Kamu ngerti nggak, sih?!"

"Maksud kamu apa bentak-bentak saya, Allesta?"

Allesta gelagapan karena mendengar jenis suara yang berbeda, ia melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Ia diambang kebahayaan sekarang.

Ia menjauhkan ponsel itu lalu bergumam, "Mampus, gue!"

Lalu, ia menyiapkan keberanian untuk mendapatkan omelan-omelan dari bu Siti--guru Biologi di kelas Allesta.

"Eh Ibu Siti, hehe. Saya kira itu teman saya Bu, soalnya tadi dia ganggu terus. Maaf ya Bu, ya?"

"Lain kali, diliat dulu. Jangan asal bentak-bentak, nggak sopan."

"Iya maaf, Bu. Ada apa?"

"Besok Ibu nggak masuk, tolong kamu infokan tugasnya halaman 40-45 ya dan langsung dikumpul."

"Oke, Bu. Laksanakan!"

Sambungan telepon terputus, bu Siti yang mengakhirinya lebih dulu. Allesta bernapas lega, hampir saja jantungnya berhenti berdetak.

REVALESTA (END)Where stories live. Discover now