42- Hadiah Ranking

793 66 31
                                    

42

"No matter where I go
I'll never leave your side
You will never be alone" --- Way Back Home (Shaun)

~♥~

Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Changi Airport memakan waktu kurang lebih dua jam. Aku memandangi deretan awan yang berarak di langit biru dari jendela pesawat. Kemudian menatap sinar matahari yang terselip di antara awan. Sungguh indah sekali. Sudah dua tahun aku tidak mengunjungi Singapura, dan ini perjalanan kami yang pertama bersama Iqbal, tunanganku. Papa ditugaskan ke Singapura oleh Perusahaan tempatnya bekerja sejak tiga tahun lalu. Papa biasanya hanya bisa pulang setahun sekali, itu pun hanya saat lebaran saja. Dan entah mendapat wangsit dari mana, Papa mengirimkan tiket pesawat online pada kami sekeluarga. Katanya hadiah karena aku, Danang, dan Iqbal sudah mendapatkan ranking di sekolah.

Pandanganku beralih ke Iqbal yang rupanya sejak tadi juga memandangi awan lewat jendela pesawat di dekatku. Lalu saat aku menoleh, ia balas menatapku. Tersenyum. Senyum itu ... yang dulu benar-benar kusangka senyum palsu. Senyum yang dulu kupandang menyebalkan. Entah mengapa sekarang sangat membuatku kecanduan melihatnya. Aku balas tersenyum.

"Cantik ya awannya," kataku.

Iqbal mengangguk. "Cantik." Tangannya terangkat dan mengelus pipiku. "Lebih cantik Noona maksudku."

Kami tertawa. Gombalannya yang dulu terasa risih di telinga, kini membuatku ingin selalu mendengarnya.

"Gombal." Aku pura-pura ngambek dan kembali menatap jendela.

"Aku senang deh ikut ke Singapura. Kukira aku bakal ditinggal sendirian di rumah." Iqbal terkekeh kecil.

"Emang kamu mau ditinggal di rumah?"

"Enggak."

"Ya udah," kataku sambil memeletkan lidah. Terkekeh kecil, aku menyambung kalimat, "Kamu gak mau liburan sama Ayah kamu, Bal?"

Iqbal tampak mengingat sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku udah ijin ke Ayah, kok. Jadi, seminggu ini aku bisa ikut jalan-jalan sama Noona dan keluarga. Itung-itung pendekatan sama Calon Papa Mertua."

Aku mendengarnya merona.

Iqbal tergelak. "Nanti sisa dua minggu lagi bisa kuhabiskan di rumah di Cisarua. Mumpung Ayah juga bisa pulang ke rumah."

Aku mengangguk-angguk kecil.
Setelah itu hening. Begini kebiasaan kami saat kehabisan topik pembicaraan. Hanya diam, dan mendengar deru napas masing-masing. Tapi Iqbal tahu kalau sudah diam begini, biasanya ia yang akan sibuk mencari topik obrolan lain. Ia akan membicarakan apapun. Benar-benar kepribadian ekstrovert. Berbanding terbalik denganku.

Tatapanku jatuh pada tanganku yang digenggam Iqbal. Genggamannya erat sekali, bagai anak kecil yang takut ditinggal pergi ibunya. Aku tersenyum.

Dan sepertinya Iqbal tahu arah pandangku, ia yang tadi tengah memperhatikan awan dari jendela pesawat ikut menatap tangan kami yang bertautan. Ia juga tersenyum.
"Memang pas, ya," katanya.

"Pas?" Aku mengerutkan dahi.

Iqbal menggoyangkan tangannya, membuat tanganku yang ada di genggamannya ikut bergoyang. "Ini. Tangan Noona pas di genggamanku. Seolah memang diciptakan begini."

Kan, kubilang apa? Ia paling jago membuat gombalan-gombalan itu.
Aku terkekeh lalu mengubah air mukaku menjadi datar dalam sekejap.
"Apaan? Udah sini kutarik aja." Aku hendak menarik tanganku namun ia tahan.

"Eh, eh. Jangan. Gitu aja ngambek." Ia sembunyikan tanganku ke saku jaketnya.
"Gini aja, biar anget ya. Ac pesawatnya dingin." Lalu tersenyum.

Oh My Fiance! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang