[#EXOFFIMVT2019] LEE ANN NAA_MISTERI KEPALA BURUNG PHOENIX

3 0 0
                                    


Misteri Kepala Burung Phoenix

Oleh: Lee Ann Naa

"Mahasiswi Yeo Seong Ji," panggil Wakil Dekan, seorang pria gemuk berkacamata. "Saya peringatkan sekali lagi tentang tulisan Anda. Batalkan penerbitan artikel itu! Perbuatan Anda akan mencemarkan nama baik universitas!"

"Joesong habnida1!" Seong Ji membungkuk. "Tapi bukankah semua mahasiswa di fakultas ini berhak menyampaikan aspirasi mereka?"

"Saya peringatkan, Mahasiswi Seong Ji!" Nada suara Wakil Dekan meninggi. "Batalkan artikel itu atau Anda terpaksa harus keluar dari universitas ini!"

Itu adalah percakapan yang sangat menegangkan siang itu. Dengan langkah dihentakkan, Ji melangkah ke meja kafetaria. Sambil melemparkan tas, ia menghempaskan tubuh ke kursi. Sebuah kotak memanjang dari kain beledu merah keluar dari tasnya dan jatuh ke lantai.

"Arrggh...," geramnya. Dipungutnya kotak itu dengan kasar. Lalu ia menarik napas panjang.

Dengan hati-hati, Ji membuka kotak itu. Sebuah binyeo2 kuno berkilauan tertimpa cahaya lampu. Perlahan, ia menyentuh tongkat yang terbuat dari emas tua 24 karat itu. Halus. Sekaligus misterius. Jarinya terus menyusuri permukaan batang binyeo yang tebalnya sama dengan kelingkingnya. Ji menahan napas saat meraba butiran batu mulia berwarna merah, hijau, dan kuning di bagian ujung batang. Batu-batu mulia itu tersebar rapi, memperindah ornamen berbentuk kepala burung phoenix. Ada sesuatu mengenai binyeo ini.

Ji memejamkan mata. Dan mimpinya tadi malam muncul kembali.

Langit hitam pekat. Kobaran api. Teriakan wanita dan anak-anak. Gulungan kertas yang berserakan. Tangan yang menggenggam erat binyeo kepala phoenix. Dan terakhir... Selalu dengan akhir yang sama... Teriakan pilu dari mulut Ji sendiri disertai rasa panas di punggungnya.

1Joesong habnida (Korea), maafkan saya.

2Binyeo (Korea), tusuk rambut

"Melamun lagi?" Suara Woo Bin membuyarkan lamunan Ji.

Cowok jangkung dengan rambut cepak itu melintas dan duduk di depan Ji. Di tangannya terdapat dua gelas capucino panas. Ji meraih salah satunya.

"Wajahmu seperti orang yang siap perang, Ji! Bagaimana pertemuanmu dengan Wakil Dekan?"

"Kau tahu, mereka mengancam akan mengeluarkanku dari universitas kalau aku menerbitkan artikel itu! Persekongkolan apa ini?" tutur Ji dengan penuh kemarahan.

"Maksudmu, artikel 'Kemerdekaan Sang Phoenix'? Aku sudah membacanya," ujar Woo Bin, mahasiswa Fakultas Psikologi semester lima yang sudah dua tahun menjadi pacar Ji.

"Bagaimana menurutmu?" Mata Ji membesar. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Sangat idealis. Ciri-ciri seorang pejuang kebenaran, dan-," jawab Woo Bin. Disesapnya capucino panas itu. "Berisiko tinggi."

"Memang seharusnya seperti itu, kan?" Ji mengangkat kedua tangannya dan menggerakkannya dengan bebas. "Seseorang dengan potensi besar tidak seharusnya terkekang masalah prosedural. Orang seperti mereka berhak mendapat perlindungan, bukan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Mereka itu adalah aset negara dan dunia! Merekalah yang kelak akan mengubah peradaban manusia! Lagipula -".

"Kau siap kalau dikeluarkan dari universitas?" sela Woo Bin prihatin. "Jadi artikel itu adalah caramu membalas dendam?

Balas dendam. Apalagi namanya kalau bukan balas dendam? Membalas tindakan Dekan Fakultas Sastra yang telah 'mencuri' naskah teater karyanya. Akibat dari peristiwa itu, beasiswa untuk kuliah di Seoul yang telah lama diincar Ji dibatalkan. Mimpinya hancur untuk menjadi penulis sekaligus sutradara.

#EXOFFIMVT2019Where stories live. Discover now