[#EXOFFIMVT2019] WINA ALDA_MEMORIES OF CHERRY BLOSSOM

1 0 0
                                    


Memories of Cherry Blossom

Wina Alda

Sejak kejadian nahas itu, Hyesung tidak pernah menemukan keindahan di musim semi. Bukan. Sebenarnya, setiap musim pun begitu. Bahkan, tiap detiknya sama. Suram. Tidak ada harapan, pun kehidupan. Napas yang ia hela seolah tidak berguna sama sekali. Karena ia hidup, tetapi mati.

Apa yang lebih berharga bagi seorang balerina selain kaki indahnya? Hyesung masih memiliki keindahan itu, tetapi tidak dengan fungsinya. Kecelakaan yang ia alami mematahkan kaki sekaligus mimpi yang baru diraih kurang dari setahun.

Saat itu, bunga sakura sedang bermekaran. Hyesung mengayuh sepeda di jalanan Yeouiseo, menikmati semilir angin musim semi di bawah naungan sakura. Senyum lebarnya waktu itu, siapa sangka akan menjadi tangis memilukan di musim semi berikutnya? Seorang pria mabuk mengendarai mobilnya ugal-ugalan, menabrak Hyesung dari belakang hingga ia terlempar beberapa meter. Hari berikutnya, Hyesung terbangun di rumah sakit dengan kaki kanan yang sudah dibalut gips.

"Pergelangan kaki Hyesung patah," kata dokter pada ibunya. "Tapi jangan khawatir. Hyesung akan pulih dalam beberapa bulan."

"Pulih" yang dikatakan dokter bukanlah harapan Hyesung sesungguhnya. Ia hanya bisa kembali berjalan normal tanpa tongkat, tetapi tidak bisa melanjutkan karir sebagai balerina. Musim semi menjadi mimpi buruk bagi Hyesung. Ia ketakutan setiap kali musim itu datang, bahkan hanya dengan melihat replika bunga sakura. Selama musim semi, Hyesung tidak berani keluar rumah. Ia menjalani hobi masa kecilnya—menggambar—jika bosan. Namun, ibunya ingin Hyesung sembuh dari trauma musim semi. Psikiaterlah yang menjadi pilihannya.

"Aku tidak gila. Tolong berhenti membawaku ke psikiater," kata Hyesung pada suatu pagi.

"Orang yang pergi ke psikiater bukan berarti dia gila. Di sana mereka bisa mengobrol, mencurahkan segala isi hatinya."

"Kalau hanya mengobrol, aku bisa melakukannya dengan Ibu."

"Tapi kau tidak pernah jujur dengan perasaanmu. Apa seseorang yang tidak berani membuka tirai jendela bisa disebut baik-baik saja?"

"Kalau Ibu merasa aku tidak pernah jujur pada ibuku sendiri, lalu kenapa Ibu yakin aku bisa bicara pada orang itu?"

Nyonya Jung tergeming. Tatapannya beradu dengan sang putri, sebelum akhirnya Hyesung mengalihkan pandangan lebih dulu.

"Aku mau istirahat. Tolong tinggalkan aku sendiri."

Perkataan itu selalu menjadi penutup perdebatan antara Hyesung dan ibunya. Berbulan-bulan lamanya, Hyesung selalu menolak. Jika terpaksa pergi pun, ia hanya diam seribu bahasa. Mendengarkan segala omong kosong sang psikiater tentang melanjutkan hidup, kebahagiaan, juga mimpi. Hyesung tertawa sinis ketika psikiater itu berbicara tentang mimpi.

"Berbicara mimpi pada seseorang yang hancur karena mimpinya, apa benar Anda seorang psikiater? Pensiun saja dari pekerjaan Anda!" Hyesung berbicara ketus. Pertama kalinya ia menyahuti perkataan Psikiater Lee.

Setelah mengatakan itu, Hyesung pergi meninggalkan ruang konsultasi. Ibunya yang menunggu di luar kebingungan ketika Hyesung berjalan cepat-cepat melewati dirinya, seolah tidak menyadari apa pun di sekeliling. Ketika Nyonya Jung berhasil mengejarnya, Hyesung sudah berada di dalam mobil yang terparkir di parkiran basement.

Hari itu terakhir kalinya Hyesung pergi ke psikiater, karena ibunya mendatangkan langsung sang psikiater ke rumah. Ia tidak mau menyerah untuk putrinya. Ia ingin mengembalikan senyum Hyesung yang hilang. Sampai Psikiater Lee harus tinggal di rumahnya pun tidak masalah.

Pagi ketiga di musim semi kedua sejak Hyesung kecelakaan, gadis itu terbangun oleh sinar matahari yang menerpa wajahnya. Ia terkejut sampai terlonjak dari tempat tidur. Siapa yang berani membuka tirai jendela? Ibunya tidak pernah melakukan itu tanpa seizin Hyesung.

#EXOFFIMVT2019Where stories live. Discover now