Ini sungguh diluar dugaan.

Yaa aku sendiri pun tau bahwa dalam setaun ini bu Tejo sangat sering 'kambuhan' dengan penyakit itu. Setiap anaknya sembuh dari sakit, pasti giliran ia yang jatuh sakit. Sedangkan suaminya terkadang memperhatikan seperlunya saja dan ia lebih sering satgas dibandingkan di rumah, mungkin seperti itu yang ia ceritakan padaku selama ini.

~~~~~

"Dek, sudah makan?"

"Belum, mas."

"Lho kenapa?"

"............"

"Ayo makan dulu! Jangan melamun terus, kasian nanti dedek juga ikut stress lho..."

"Iya mas,"

Selera makanku tiba - tiba saja hilang,  biasanya jam segini aku sudah bisa menghabiskan 3 piring nasi sejak pagi dan juga cemilannya tapi entah mengapa pikiranku masih tertuju pada sahabat yang sedang berjuang di rumah sakit.

"Mas, kapan om Tejo turun? Kayaknya bu Tejo nungguin suaminya deh!"

"Insyaa Allah besok pagi - pagi bisa turun, sementara sampe sore ini belum ada copper yang jemput ke sana jadi mungkin diundur besok."

"Oni gak mau diajak kesini, mas. Tadi aku mampir ke rumah bu Anom dan tak ajak pulang, tapi dia gak mau. Kasihan Oni nanyain ibunya terus,"

"Ya sudah, kita doakan yang terbaik saja dari rumah ya! Ayo cepet makan, adek baru makan sekali tadi pagi 'kan? Dah jangan terlalu dipikirin ya,"

"Hmmm...."

Dan keesokan harinya suamiku mendapat kabar bahwa om Tejo, leting terdekatnya itu telah kembali dari tempat tugasnya. Lalu, aku pun juga bergegas untuk segera menuju RS lagi. Aku tak ingin detik - detik terakhir seperti ini menghilang begitu saja.

"Yank, ayo ke rumah sakit sekarang! Om Tejo udah sampai dan ini langsung menuju ke RS. Barangkali adek ada yang mau disampaikan sama om-nya atau bu Tejo."

Aku sangat terkejut dengan ucapan suamiku yang setibanya pulang selesai apel pagi memberi kabar seperti itu. Ini masih jam 07.30 wit.

"Iya mas, tapi sarapan dulu ya!"

"Oke,"

Lalu setengah jam kemudian kami berangkat menuju UGD RSMM dan benar saja dugaanku saat tiba disana. Aku melihat om Tejo menangis sejadinya saat keluar dari ruang observasi UGD, tempat istrinya dirawat intensif selama 2 hari ini. Ia nampak begitu menyesal, wajahnya begitu melas, tak ada raut ketegaran seorang pria disana.

"Bismillah, kuatkan hamba untuk mengikhlaskan apapun yang terjadi nanti. Aamiin..." ucapku lirih.

"Yank, kami masuk aja liat kondisi bu Tejo ya! Mas mau ketemu om Tejo dulu,"

"Iyaa mas,"

Hanya beberapa langkah saja, aku telah memasuki ruangan yang hanya terdengar suara monitor jantung itu. Nampak ada beberapa rekan kerja bu Tejo yang menahan tangis dan juga ibu - ibu tetangga kami di asrama.

"Bu Aji, bisa bicara sebentar?" sapa bu  Anto yang sudah berada di RS lebih pagi dariku.

"Iya, mbak. Gimana?" aku melihat ada sedikit sembab di matanya. Lalu, ia menarikku ke pojok ruangan yang sempit itu.

"Tadi waktu om Tejo datang dan langsung menunggui bu Tejo, bicara semua uneg - uneg dan permasalahan mereka juga minta maaf, tiba - tiba bu Tejo muntah darah tersembur kemana - mana dalam kondisi gak sadar, Bu Aji. Saya langsung gak bisa nahan air mata melihat kondisi seperti itu dan om Tejo juga langsung menangis keluar ruangan." ucapnya lirih dengan suara serak.

"Astaghfirullah, iya mbak? Mungkin ada yang mau disampaikan juga sama bu Tejo ke suaminya."

"Ya sudah, sampeyan juga kalo ada yang ingin disampaikan ke bu Tejo, dibisikkan saja di sampingnya pelan - pelan ya! Moga bu Tejo bisa mengikhlaskan semua, karena dokter sudah bilang kecil harapan untuk sembuh," tambahnya lagi dan aku tak bisa menahan air mataku lagi.

"Iya mbak,"

"Ya sudah, saya tak pulang dulu ya. Bayu belum sarapan tadi. Nanti kalo ada kabar apa - apa cepet sampaikan ya, ntee.." pamitnya dan kujawab dengan anggukan.

Setelah bu Anto pergi, aku segera mengikuti saran yang tadi disampaikannya padaku. Aku tak peduli wajah ini seperti apa saat berbicara padanya, mencoba menahan air yang mulai menumpuk di celah mata pun aku sudah tak bisa. Ia begitu lemah tak berdaya.

Ya Allah mudahkanlah proses akhir kehidupannya.
Aku bersaksi bahwa ia adalah salah satu hamba - Mu yang taat atas perintah - Mu.
Ampunilah dosa - dosanya, ya Allah.

"Mbak yu... Saya....minta maaf ya....jika....selama menjadi.....tetanggamu....saya belum bisa....menjadi saudara yang baik....buatmu......hiks.....saya juga....minta maaf.....jika suamiku juga pernah.....melakukan kesalahan....sama mbakyu ya. Ikhlaskan semuanya, mbakyu....ikhlaskan.... Semua yang kita miliki itu....hanya milik Allah ta'ala. Pergilah dengan tenang....jika memang ini menjadi waktumu.....yang terakhir, mbakyu. Insyaa Allah.....kami semua....ikhlas.....hiks... "

Lalu, aku menjauhi bed pasien itu dan melepaskan semua tangisku di luar ruangan. Tak peduli seberapa banyak orang yang melihatku saat ini. Aku benar - benar kehilangan sosok seorang sahabat, kakak dan tetangga yang baik sekaligus. Ujian keikhlasan yang sangat berat kali ini.

.
.
.

To be continued

*****

Alhamdulillah...
Menjelang akhir yang makin ngaret

Masih dalam suasana lebaran, author ingin mengucapkan...

Selamat hari raya Idul Fitri 1440 H
Taqabbalallohu minna wa minkum
Taqobbal yaa kariim...

Mohon maaf atas keterlambatan yang makin hari makin ngaret yaa readers tercinta.. 🙏😭

Author hanya manusia biasa yang sulit memanajemen waktu karena kesibukan sebagai ibu & karir yang baru saja dirintis...

Moga dengan part ini bisa mengobati penantian panjang kalian yaa!

Terimakasih banyak krn sudah mampir utk membaca cerita ini.

Salam sayang

Author❤❤❤

Catatan Hati Seorang Istri PrajuritWhere stories live. Discover now