Menunggu Kelahiran

853 70 2
                                    

.
.
.
"Air ketubannya bagus, posisi juga sesuai, TBJ juga lumayan ini, Bu. Di usia 37 weeks sudah 3300 gram, jadi saya sarankan jika minggu depan tidak ada kontraksi ibu harus memilih jalan SC yaa!"

"Aduh dokter, ndak bisakah lahiran normal saja? Induksi dulu gitu, dok?" ucapku sedikit kecewa.

"Kayaknya ndak bisa, Bu. Dari sini tampak lingkar kepala janin sudah besar. Jika memaksa induksi, kemungkinan kepala janin tidak cukup masuk panggul dan malah membahayakan nyawanya karena efek obat induksi." jelas dokter pada layar USG dihadapannya.

Aku termenung.

"Baiklah, dokter. Minggu depan kami akan kembali lagi untuk melihat kemajuannya yaa! Terimakasih, dokter. Permisi... " pamit mas Aji dan aku menahan rasa khawatirku.

Aku berjalan setengah melamun dan tiba di parkiran depan klinik air mataku menetes.

Apakah aku tidak bisa merasakan sakitnya melahirkan normal? Aku ingin merasakan apa yang ibuku dulu rasakan saat melahirkanku, apa tidak boleh ya Allah?

"Yank, ayo masuk!"

"Hmmm..... Eh iyaa,"

"Jangan melamun begitu, kita harus segera pulang karena ada pasien yang mau dirujuk pakek ambulans ini," mas Aji menyadarkanku.

"Siapa mas? Sakit apa?" tanyaku penasaran.

"Itu Bu Wiska mau melahirkan. Katanya sudah bukaan 5, jadi mau dirujuk ke RSMM."

"Oooh...." aku terdiam, seolah proses kehamilan dan kelahiran ini seperti ajang perlombaan. Setiap kali bertemu orang (tetangga asrama belakang) pasti yang akan ditanyakan 'Kapan lahiran, Bu Aji? Bu itu sudah tanda-tanda lho!?' dan aku hanya menjawab sebisaku saja. Terlalu malas jika harus menanggapi komentar mereka, walau kadang hatiku sedikit perih.

"Sabar yaa sayang! Allah itu tidak akan menguji hamba melebihi kesanggupannya, insyaa Allah kita bisa melalui ini semua. Lahiran normal ataupun SC, asalkan kamu dan bayi kita selamat yaa sayang." genggamannya membuatku menjadi lebih kuat lagi untuk melalui proses ini pertama kalinya.

Benar kata mas Aji, bagaimanapun proses bersalinku yang utama adalah keselamatan bayiku dan juga aku.

"Makasih yaa mas... Besok temani aku jalan pagi yaa!"

" Oke... "
.
.
.
~~~~~~
.
.
.
Pagi yang dingin dan cerah, aku dan suamiku sedang berjalan-jalan di area asrama. Masih sepi, padahal cahaya matahari mulai menelusuri celah-celah awan pagi yang sangat tebal menutupi langit. Jika saja kota ini aman dari perang suku, pasti aku akan sangat betah berada disini dan melanjutkan karirku yang tertunda dulu.

Sayangnya, hampir setiap minggu ada kabar tentang perang suku. Entah suku mana, kadang antar suku pedalaman atau suku luar.

Ingin sekali rasanya bekerja di kota ini, karena ada banyak klinik kecil yang masih sangat membutuhkan tenaga perawat sepertiku. Tapi, aku urungkan niatku karena jaraknya yang lumayan jauh dari asrama dan aku pun memikirkan keamananku jika mendapatkan shift sore atau malam.

Pernah sesekali pulang malam saat jalan-jalan bersama suamiku. Dan tidak sengaja kami berpapasan dengan seorang bapak tua membawa sebilah parang besar di tangannya, atau beberapa orang pria yg membawa tombak tajam seakan mereka berangkat berperang.

Hati wanita mana yang tidak ngeri melihat itu, tapi bagi suamiku itu adalah hal biasa. Heh? Jika saja mereka menyerang tiba-tiba, apa itu masih dianggap biasa? Bahkan mereka lebih menyeramkan daripada kawanan begal sekalipun.

"Mas, pelan jalannya. Sakit kakiku ndak pake sandal." aku menahan lengannya agar jalannya terhenti.

"Ini bagus untuk refleksi lho, yank!" ia menuntunku jalan perlahan.

Catatan Hati Seorang Istri PrajuritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang