Kita Bersaudara

4.7K 246 31
                                    

.
.
.
Sudah hampir sebulan ini para suami berada di tempat tugas mereka masing - masing. Kehidupan kami pun tetap berjalan seperti biasanya, lebih simpel karena hanya mengurus anak dan juga diri sendiri.

Aku pun juga sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini selama hampir setahun berada di asrama. Sedikit membosankan, tapi yaa tetap harus dinikmati 'kan?

Menikmati hari - hari sendiri yang nantinya tak akan kembali kurasakan disaat aku sudah memiliki seseorang bayi mungil. Bisa tidur dan bangun kapan saja semauku, masak apa saja kesukaanku dan melihat kondisi rumah yang selalu tertata rapi tanpa ada yang mengusik. Ini caraku bersyukur karena masih diberi nikmat yang begitu banyak walaupun dambaan seorang anak belum juga memberikan tandanya.

Tak masalah bagiku, kapan ia akan datang pasti Allah - lah yang lebih tau waktu yang paling tepat juga tentang kesiapan kami menjadi orangtua itupun bukan hal yang mudah. Kalau dilihat lagi pada mereka yang baru saja menikah dan hanya dalam waktu beberapa bulan saja sudah dipercayakan seorang anak rasanya seperti ada ketidaksiapan dalam diri mereka.

Yang satu sangat sering marah hanya karena kesalahan sederhana dan ketidaktahuan sang anak. Herannya lagi ibunya bisa marah dan membentak sejati - jadinya seperti kesetanan.

Sedangkan yang satu lagi, ibunya sangat sulit sabar, sering memukul dan membentak pada anaknya. Aku seperti tak melihat ada kasih sayang di mata ibunya itu.

Yang satu lagi, ibunya seorang pekerja pemerintah (PNS) dan anaknya hanya dititipkan saja pada oranglain atau kadang pada neneknya sampai siang atau sore hari. Padahal sang anak masih sangat kecil dan butuh dampingan seorang ibu.

Lalu ada juga beberapa ibu yang sedang hamil malah susah makan, setiap ada nasi selalu muntah sampai kosong isi perutnya. Dan wajahnya pucat, lesu, seperti tak bahagia dengan kehadiran sang anak. Menyedihkan!

Hal - hal itu yang membuat aku berpikir lebih jauh lagi untuk menerima titipan berharga yang tak bernilai itu.

Apakah aku sanggup menjadi ibu yang baik? Apakah aku siap menjadi role-model untuknya nanti? Apakah aku mampu untuk bersabar unlimited saat menghadapi ketidaktahuannya? Apakah aku bisa mencintainya dengan tulus? Dan apakah - apakah yang lain.

Rindu itu sering bergelayut dalam pikiranku atas kehadirannya, terlebih dengan situasi seperti ini sekarang. Aku hanya di rumah sendirian disaat suamiku bertugas keluar kota untuk beberapa bulan ke depan.

"Buuuuuu!!! Ayooo berangkat!"

"Iyaa ini dah siap!" Aku menuju teras dan segera menyusul para tetanggaku untuk mengikuti OR bersama di lapangan voli kompi Markas.

"Masak apa Bu? Tadi saya bikin sambel terong lumayan pedes, mau Bu?" tawar bu Tejo padaku.

"Wow tumben? Saya masak omelet aja sama goreng tempe, kayaknya cocok sama sambele sampeyan, Bu!?" jawabku.

"Saya belum sempet makan tadi, nanti aja selesai OR ya?"

"Ho'oooh, saya juga cuma ngopi segelas dah beres. Blum laper, hehe..."

"Bu Aji masak apa hari ini?" tanya bu Nazar seperti biasanya. Sejak hamil ia memang sulit makan. Ia pun lebih suka masakan oranglain daripada harus mencium bau - bauan bumbu dapur.

"Belum masak, Bu! Nie rencana mau joinan sama bu Tejo nanti, nyambel aja sama ada omelet."

"Yach.... Pasti pedes kalo sambelnya sampeyan, Bu."

"Hehehe.... Seperti biasa tow! Bukan sambel namanya kalo gak pedes,"

"Emang bu Nazar lagi pengen apa?" tanya bu Tejo.

Catatan Hati Seorang Istri PrajuritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang