We're Strong Wife!

7K 359 33
                                    


Bu Tejo pov
.
.

Namaku Hami, tapi sejak aku menikah orang - orang di asrama memanggilku dengan Bu Tejo, nama suamiku.

Sebenarnya aku sangat malu jika harus menceritakan aibku pada setiap orang yang menjadi tetangga baruku, apalagi dia masih satu leting dengan suamiku. Mungkin om-nya (Sersan Aji) sudah tau kelakuan suamiku sejak awal seperti apa sebelum aku menikah dengannya, dan yang membuatku menjadi amat malu ketika aku harus berterus terang dengan istrinya yang baru saja masuk asrama alias pengantin baru.

Bukannya aku ingin mengumbar aib pribadi, tapi aku benar - benar goyah dengan kondisi seperti ini, bingung harus menceritakan kegundahan hati pada siapa. Dengan masalah keluarga yang makin hari makin menumpuk tanpa ada penyelesaian yang jelas. Aku tak berani mengadu pada ibu dan bapak di kampung, mereka terlalu tua untuk mendengar rintihan hatiku dan pasti akan menjadi beban berat pikiran mereka. Dan saat ini aku berharap satu - satunya rekan yang bisa aku ajak kompromi, berbagi hati dan pikiran hanya dia. Semoga saja, beliau mampu menjaga amanah ini dan menjadikan pelajaran yang paling berharga untuk rumah tangganya ke depan.

Aku bukannya tidak sayang pada anakku, tapi didikan ayahnya membuatku kesal dan marah. Seolah aku bukan ibu yang baik untuk anaknya.

Mungkin dari awal memang aku sudah salah. Yaa sangat salah karena sudah memilihnya untuk menjadi suamiku.

Saat itu, berawal dari pertemuanku dengannya di sebuah bus antar kota. Aku melihat ia berdiri di lorong bus yang saat itu sedang penuh. Ia tampak gagah dan berwibawa dengan pakaian loreng dan ransel di punggungnya. Ketika bangku di sebelahku kosong saat orang yang mendudukinya berdiri karena akan turun di halte tujuan berikutnya, ia segera duduk disana tanpa peduli orang lain yang berjejal di depan dan belakangnya. Lalu, kami pun berkenalan, mengobrol dan saling tukar nomor ponsel.

Aku tidak menyangka bisa secepat itu jatuh hati padanya, seakan aku sudah terhipnotis dengan penampilannya padahal ia masih seorang baja yang nantinya akan di tempat-tugaskan lagi entah dimana. Tapi perasaanku begitu kuat dan mendalam dan aku rela jika harus menunggu sampai ia diijinkan untuk mengurus nikah.

Hampir setiap hari ia menelponku dan diam - diam tanpa sepengetahuan bapak, kami bertemu walau hanya sekedar makan dan naik bis bersama di saat ia IB sebelum pulang ke Purwodadi dari Kodam IV Diponegoro, sedangkan aku pulang bekerja dari Semarang ke Blora.

Hubungan kami baru saja berjalan sekitar 5 bulan, tapi ia sudah memiliki niat baik untuk segera meminangku langsung pada bapak. Wanita mana yang tidak ingin bisa menjadi belahan jiwa seorang prajurit kan? Apalagi ia langsung mengajakku ke jenjang yang lebih serius, why not?

Tanpa berpikir panjang dan melihat latar belakangnya dahulu, aku pun meng-iyakan ajakannya. Dengan syarat, aku harus menunggunya sampai 2 tahun lagi.

Lalu, pada akhirnya SK penempatan yang dinantikannya turun dan dia terpaksa harus menerima dimanapun ia ditugaskan, yaitu Kodam XVII Cenderawasih, Papua. Setelah itu, ia ditempatkan lagi di Batalyon Infanteri Timika, Papua. Aku terus bersabar menunggu, walaupun jarak kami antara Blora (Jateng) dan Timika (Papua).

Tapi saat hari itu tiba, kupikir akan menjadi hari bahagia kami berdua, ternyata tidak!

Aku tidak melihat ada kebahagiaan di matanya, yang ada seperti keterpaksaan. Entah mengapa ia menjadi seperti itu. Apakah ada orang lain yang ia harapkan selama bertugas disana? Dan itu bukanlah aku?

Setelah sebulan menikah, akupun diboyongnya ke asrama. Aku merelakan untuk melepas karirku di Semarang demi taat padanya. Tapi, harapanku seolah terkikis dengan sikapnya yang selalu dingin dan acuh. Jarang sekali ia mengajakku mengobrol, bahkan kalau tidak begitu penting ia tidak akan membawaku pergi pesiar atau IB diluar asrama. Sampai akhirnya aku menyadari ada orang lain diantara pernikahan kami.

Aku tahu selama ia berdinas disini ada wanita lain yang sudah menjaga hatinya dan itu masih berlangsung padahal kami telah menikah. Sejak ia jarang pulang ke rumah setiap Sabtu sore, padahal aku sudah mengandung anak pertama kami hanya dalam waktu beberapa bulan saja menikah.  Bukan hanya itu saja, gaji bulanan yang seharusnya ia berikan utuh untukku, malah harus terbagi lagi untuk biaya saudara perempuannya yang masih kuliah dan mungkin saja juga untuk "wanita jalang" itu. Tapi, aku berusaha untuk mengalah dengan kondisi ini, bersabar dan terus berdoa, menunggunya untuk kembali sadar.

Yang membuatku masih bertahan adalah ketika Allah memberiku rejeki bukan hanya dari kehamilan ini saja, tapi juga aku telah diterima bekerja sebagai guru tetap di sebuah sekolah TK terbaik di Timika. Gaji yang lumayan cukup untuk menambah uang belanja bulananku dan juga rekan kerja yang ramah, membuatku sedikit melupakan permasalahanku di rumah.

Yaa aku terus berjuang sendiri, pulang dan pergi bekerja memang aku diantar jemput oleh pihak sekolah dengan minibus. Tapi, itu hanya sampai di depan pos provost saja dan aku masih harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 500 meter masuk ke asrama menuju rumah dengan perut yang semakin membesar setiap harinya. Entah dimana suamiku, aku tak peduli.

Kondisi itu membuatku sering stress dan histeris saat sedang di rumah sendiri. Orang - orang menyangka aku sering kerasukan makhluk halus atau sejenis jin, padahal beban pikiran yang membuatku tak berdayalah hingga aku seperti itu.

Dan kini ketika anakku sudah akan bersekolah, ia malah mengajarinya hal - hal yang tidak patut bagi seorang ayah. Ia menyuruh anakku untuk selalu melawan perintahku, memukulku sampai menendangku saat ia marah. Ya Tuhan, mengapa cobaan ini begitu menyakitkan?

Hasil dari didikannya begitu nampak saat suamiku tidak berada di rumah seperti sekarang karena sedang melaksanakan satgas pamrahwan di Jilla, pedalaman Mimika. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi anak semata wayangku, ia selalu melawan ketika aku nasehati hingga hilang kesabaranku padanya. Padahal aku sudah bertaruh nyawa untuknya, terlebih disaat ia sakit untuk sekedar makan dan tidur saja aku tak mampu.

Bu Aji memang sering mengingatkanku untuk tetap sabar, karena ia adalah titipan Allah untuk aku jaga dan didik menjadi anak yang sholeh. Tapi aku sendiri tidak pernah mengerti, mengapa aku masih sering hilang kesabaran jika menghadapinya saat ia nakal. Apakah mungkin tanpa sadar aku sudah membenci suamiku? Hingga aku meluapkannya begitu saja pada anakku setiap aku marah.

Walaupun kenyataan tidak berpihak baik padaku, aku selalu berusaha menjaga syukurku pada-Nya karena hingga saat ini aku masih menerima kesehatan dan rejeki yang selalu mengalir lebih, juga memiliki orang - orang yang masih mau menerimaku apa adanya, seperti Bu Aji.

Bu Tejo pov end

*baja = bintara remaja
*Kodam IV Diponegoro berada di Semarang, Jateng.
*Kodam XVII Cenderawasih berada di Jayapura, Papua.

To be continued....

***

Maaf ya author upload malem banget, nunggu si baby bobok dulu..
Dan maafken juga jika typo bersebaran dimana2...

Makasih buat koreksiannya 😁😁

Met rehat semua!!! Wkwkwk
#lemparsandalaja #authorsomplak

Catatan Hati Seorang Istri PrajuritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang