85 : Rumah Di Tengah Hutan

1.5K 149 37
                                    

Laticia mencondongkan wajahnya ke arah Lucius dan sengaja menantang pemuda itu untuk membunuhnya.

"Kau tahu, saat ini aku sangat membutuhkan darah dan tubuh gadis perawan," ujar Laticia dengan senyum menyeramkan. "Namamu Selina, kan? Kau merupakan mangsaku hari ini."

Lucius diam namun, bibirnya tersenyum. "Kau memang hebat," ujarnya lalu ia mengeluarkan semacam granat dari saku bajunya. Ia melepas knop granat dan di berkiannya granat itu pada Laticia. "Ini, hadiah kecil untukmu."

Wanita pemilik rumah itu menerimanya dan mengecek banda apa yang ia pegang sekarang.

Sekitar 3 detik setelahnya, "Selina, angkat kakimu!" seru Lucius.

Spontan wanita di sebelah Lucius itu mengangkat kakinya. Dan dengan cepat pula Lucius mengangkat meja di depannya dan dijadikannya pelindung. Apapun yang ada di atas meja, jatuh berhamburan. Termasuk juga dua cangkir teh dan sepiring potongan pie yang tadi disiapkan. Dua detik kemudian, ledakan kuat terjadi. Disusul jeritan kuat Laticia.

"Sial! Sial!! Wajahku!!" raung Laticia. Dalam kemarahannya, ia menciptakan gelombang energi ungu gelap di tangannya dan ia dorong ke arah Lucius. Gelombang itu menghantam meja yang dijadikan Lucius perisai lalu menghantam Lucius hingga terdorong sampai keluar rumah.

Lucius terperosok namun, ia segera kembali berdiri. Dinding rumah yang hacur tempat ia keluar tadi, mulai menutup dengan sendirinya. Serpihan-serpihan yang tersebar terangkat otomatis dan kembali menempel sempurna.

Selina masih di dalam, dan Lucius menyadari kalau temannya itu adalah incaran utama. "Sial, dia menyingkirkanku."

Bergegas Lucius melesat dan akan menerjang jendela rumah. Namun, semacam dinding tak terlihat menahan aksi pemuda itu.

Tidak hanya itu, rumah aneh itu mulai terangkat dengan sendirinya. Bukan terbang, tapi ada kaki di bawah rumah yang mengangkat rumah tersebut. Sepasang kaki seekor unggas.

Rumah itu mulai berjalan dan meninggalkan tempat itu.

"Luciuuuusss ...!!" jerit Selina dari dalam.

"Kau tidak akan bisa ke mana-mana, cantik." Nafsu serakah tampak jelas terlihat dari raut Laticia. Meskipun sekarang wajah itu tampak hancur sebagian. Bahkan mata kanannya hampir terjatuh dari rongga mata.

Laticia merentangkan tangan kanannya ke samping. Sekitar lima detik setelahnya, sebuah sapu melesat dan mendarat di tangannya. Sapu itu sedikit aneh, bagian bawahnya memang sebuah sapu ijuk biasa. Tapi bagian tongkat pemegangnya sengat besat, lebih seperti tongkat pemukul. Laticia terlihat seperti seorang penyihir hitam sekarang.

Wanita penyihir itu mencondongkan sapu ijuknya ke arah Selina sambil tersenyum sinting mengerikan. Secara ajaib, beberapa barang di ruangan itu mulai bergerak dan menyerang wanita itu. Seperti garpu, piring dan beberapa perkakas. Tidak hanya itu, tirai jendela di belakang Selina langsung menarik wanita itu dan mengikatnya ke sofa. Selina tidak bisa bergerak, bahkan untuk mencabut pedang dari tubhnya.

Di luar rumah, Lucius berlari cepat mengejar rumah unggas itu. Ia meloncat dari satu dahan ke dahan lain lalu meloncat ke atap tumah.

Suara hentakan pada genteng terdengar dari dalam. Laticia tampak sigap akan suara tersebut. "Sial! Tikus itu masih mengganggu saja," ujarnya kesal.

Selina tahu Lucius sedang menyelamatkannya. Jadi, ia mencoba mengakali kain tirai yang menyusahkannya tersebut. Ia berakrobatik, memutarkan tubuhnya sampai bersalto sehingga tirai sedikit merenggang. Dengan cepat ia menarik tangannya dan mencoba mencabut pedang dari tubuhnya, atau lebih tepatnya dari body bag.

"Tidak akan kubiarkan!" seru Laticia. Ia menghunuskan sapu ijuknya dan diayunkan ke samping. Secara bersamaan, sofa yang diduduki Selina terangkat dan melempar wanita itu ke arah yang sama sapu tadi berayun.

Di sisi kanan ruangan terdapat sebuah pintu yang mana Lucius tunjuk sebelumnya karena tercium bau darah dari sana. Pintu itu terbuka otomatis dan langsung melahap Selina lalu kembali tertutup dan langsung terkunci dari luar.

"Kau tetap di dalam sana. Aku akan mengurus tikus itu!" ujar wanita penyihir itu.

Laticia cukup kesal dengan tampilan wajahnya yang sebagian hancur akibat ledakan granat Lucius tadi. Dari tangannya, muncul semacam asap hitam dan diusapkannya ke wajahnya. Hanya dengan sekali usap, wajah itu kembali seperti semula. Namun, berbagai kerutan muncul dan merubah tampilan wanita cantik itu. Bukan hanya wajah, tapi seluruh tubuhnya. Rambut pirang yang lebat itu, kini rintok sebagian besar. Menyisakan sedikit di kepalanya yang keriput. Tidak hanya itu, hidungnya pun memanjang dan ditumbuhi kutil. Gigi-gigi putih yang indah sebelumnya, berubah menjadi gigi-gig tajam dan hitam.

Langit-langit rumah tiba-tiba ambruk. Lucius terjatuh bersama puing-puing genteng. Dengan pisau hitam di tangannya, ia siap mengambil kembali temannya. Namun, ia tidak melihat Selina di ruangan itu. Kepalanya pun berputar menyelusuri seluruh ruangan untuk mencari temannya. Meski ada sosok nenek tua di depannya, ia tidak terlalu perduli.

Di bagian dapur, ia sangat terkejut melihat potongan-potongan tubuh anak kecil masih tergeletak di papan pemotong. Di atas rak yang menempel di dinding, terdapat lima kepala anak kecil direndam dengan air agak menguning di dalam toples kaca.

Lucus cukup terbiasa menyaksikan pemandangan horor seperti itu, dan ia tampak tidak perduli. Namun, ia sangat menyayangkan nasib anak kecil yang sudah menjadi korban.

"Anak kecil, rumah berkaki ayam dan nenek tua. Apa kau Baba Yaga?" tanya Lucius. Nenek tua di depannya tempak kesal saat Lucius menyebut nama itu.

-
-
-

Kekesalan Baba Yaga berlanjut di buku 


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dungeon HallowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang