Edgar memang cengeng, tapi setidaknya ia masih tahu malu untuk tidak menangis di tempat umum seperti ini. Mungkin ia bisa menyimpan stok air matanya untuk di kamarnya nanti.

Bruk!

Prang!

"Mas, gimana, sih!? Kalo jalan lihat-lihat dong!" maki seorang pria botak berkisaran empat puluh tahunan ke arah Edgar yang tadi tak sengaja menabraknya.

"M-maaf ...."

"Maaf, maaf! Lihat! Vas bunga yang saya beli jadi pecah nih gara-gara Mas!"

"Maaf ...."

"Enak aja minta maaf! Makanya kalo jalan—"

"HUWEE!!!" Tiba-tiba Edgar menangis sambil menjerit di hadapan si pak botak yang menyebabkan mereka langsung menjadi pusat perhatian di parkiran mobil.

"Eh, Mas? Kok nangis? Aduh!" cemas si pak botak panik.

"Ada apa ini, Pak?" tanya seseorang yang tiba-tiba berada di samping Edgar.

"K-Kak Andrew?"

"Ini Mas, mas ini tadi jalan sambil nunduk, terus nabrak saya. Akhirnya vas yang saya beli jatuh. Eh, Mas ini malah nangis sambil jerit-jerit nggak jelas," papar Pak Botak terhadap Andrew. Meluruskan kesalahpahaman ini.

Andrew berjongkok sebentar guna melihat vas bunga yang pecah, "Oh, ya sudah. Bapak bisa ikut saya sebentar, nanti vas bunganya saya ganti," kata Andrew, "Lo juga ikut, Gar!"

Akhirnya mereka bertiga pergi ke sebuah toko yang namanya tertera sama seperti nama merk vas bunga yang tadi dibeli oleh Pak botak.

"Lho, Nak Andrew? Ya ampun, sudah lama sekali tidak datang kemari! Ke mana aja?"

Andrew terkekeh pelan mendengar cerocosan seorang wanita karir yang terlihat cukup muda di umurnya yang telah hampir setengah abad ini, "Saya lagi sibuk di kantor cabang papa saya, Bu Indah. Makanya udah jarang main ke sini lagi."

"Oh, Ibu ngerti kok," balas Bu Indah dengan senyumnya yang teduh. "Lalu, ada perlu apa Nak Andrew datang ke sini?"

"Ini Bu, saya mau beli vas untuk bapak ini," ujar Andrew pada Bu Indah, "Silakan, Pak. Terserah saja mau ngambil yang mana saja. Gratis."

"Ya iyalah gratis, wong toko ini kan memang punya Nak Andrew!" cerocos Bu Indah senang, seolah ikut bangga mempromosikan bahwa toko ini milik perusahaan keluarga Andrew.

"Ah, Ibu bisa saja!" Andrew tersenyum tulus ke arah Bu Indah, "Sudah ya, Bu. Saya pulang dulu. Oh iya, tolong layani bapak ini dengan baik ya, Bu. Gratisin."

"Siap, Nak Andrew!"

"Makasih ya Mas sudah diganti. Soalnya ini buat hadiah pernikahan saya untuk istri saya, Mas."

"Oh iya, nggak pa-pa. Saya minta maaf ya Pak atas kecerobohan teman saya—" Andrew tiba-tiba menarik lengan Edgar yang sedari tadi bersembunyi di balik punggungnya.

"Minta maaf sana!" bisik Andrew pelan di telinga Edgar.

"M-maaf ya, Pak! Maafkan saya!" Edgar meminta maaf seraya membungkukkan badannya berkali-kali.

Andrew yang melihat hal itu langsung menahan tawanya. Karena sungguh, wajah Edgar terlihat sangat lucu seperti itu dengan muka bersalahnya yang memerah dan dengan kacamata bulatnya yang agak melorot ke pangkal hidungnya.

"Iya, iya, Mas. Lain kali kalo jalan lihat ke depan ya, jangan lihat lantai terus!" nasehat si pak botak menutup percakapan kali ini. Lalu, Edgar dan Andrew langsung berpamitan untuk pulang.

-

"Ehem."

Hening.

"Ehem!"

Kacang, Bung.

"Uhuok!"

Batuk lebay terpaksa keluar.

"Apaan sih? Kalo batuk minum!" maki Andrew, "Nih!"

Andrew emang nggak peka, ya! Jelas-jelas itu ehem-ehem sampai batuk lebay keluar karena mau narik perhatian dia. Eh, malah Edgar dikasih botol air mineral. Yang tinggal separuh lagi!

"Idih!"

"Nggak usah sok jijik, deh! Itu minuman bekas gue, jadi lo nggak usah jijik-jijikan segala."

Karena malas berdebat dan udah kesal juga dicerocosin masalah air minum, dengan terpaksa Edgar pun langsung menenggak air tersebut dengan kalap.

"Mau jijik juga ngapain. Lo kan udah pernah nempelin bibir gue secara langsung, masa cuma karena sebotol bareng harus jijik—"

Byur!

"UHUK!"

"PELAN-PELAN, ANJIR! MOBIL GUE JANGAN LO SEMBURIN DONG, SETAN!"






Bersambung—

Oh, Her Brother!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang