#4

294 22 11
                                    

"Masa kura-kura disebut jerapah," Mia dengan wajah kesal memasukan sesendok nasi ke mulutnya.

"Hahahah," Ardan yang duduk di sampingnya tertawa.

"Ajarin yang bener eh!" Ucap Mia dengan mulut masih dipenuhi nasi goreng buatan Ardan.

"Ngajarin kebebasan itu juga hal yang bener," ujar Ardan sambil sibuk memotong bakso goreng di piringnya lalu memberikannya ke piring Mia.
"Bebas memberikan nama maksudku," lanjut Ardan menjelaskan.

Mia menatap Ardan dengan jengkel, "iya tapi jawabannya jadi banyak yang salah, nilainya jelek."

"Hahaha, iya iya nanti aku benerin kalau salah."

"Iishh!!" Mia mencubit pipi Ardan.

"Ah, nanti cubitnya. Habisin dulu makannya."

Ardan melengos ke wastafel untuk menyimpan piring miliknya. Lalu dia berdiri di sana, melipat kedua tangannya dan memerhatikan Mia yang juga menatapnya seperti masih kesal.

Mia mendelik lalu melanjutkan makan tanpa bicara lagi, bahkan sampai makanannya habis tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Dan selama itu iuga Ardan mematung dekat wastafel.

Mia beranjak, bukan untuk menghampiri Ardan tapi untuk menyimpan piringnya di wastafel dan kemudian mencucinya.

"Heh," Ardan mencolek hidung Mia, sontak Mia menghindar, tanpa respon dan tetap berkutat dengan aktivitasnya. Dan sampai pekerjaannya selesai Ardan tidak mengganggu.

"Ih Mmm! Ngapain?!" kata Mia setengah berteriak ketika laki-laki jangkung itu memeluknya dari belakang saat Mia hendak pergi.

"Setiap warga negara Indonesia berhak merasa nyaman dalam hidupnya," ujar Ardan di telinga Mia.
"Dan aku juga berhak."

"Lepasin! Nanti ada yang liat," kata Mia.

Ardan melirik ke sekitar, tak ada siapapun kecuali mereka berdua. "Yang liat adalah mereka yang gak buta euy!"

Mia tertawa. Namun kembali berapi-api keberatan, walau sebenarnya terserah sih Ardan mau apa-apa juga haha. "Haling!" Kata Mia berapi-api. Haling = Awas! / minggir!

"Sakedaaap... we," bisik Ardan artinya sebentar aja.

"Alim ah," sanggah Mia segera. (Nggak mau ah!)

"Lego nya luntuh," teriak seorang anak kecil laki-laki yang muncul dari frame dapur sambil menunjuk-nunjuk ke ruang tengah.

"Berdiriin lagi kalau runtuh," sahut Ardan dalam keadaan masih memeluk Mia.

Anak itu malah menghampiri dan berdiri di hadapan Mia. "Cucah," katanya dengan wajah memelas. "Pacangin," anak itu menyodorkan dua potongan lego.

Mia melepaskan Ardan lalu berjongkok dan memasangkan kedua lego yang terlepas. "Fadil nya mana?" tanya Mia pada anak itu. Anak itu hanya menghendikan bahu dengan polos.

"Tuh Fadil," Ardan menunjuk seekor tokek di dinding. Anak kecil itu terkekeh geli atas jawban Ardan, lalu ia tertawa kencang. Akhirnya Ardan juga ikut-ikutan tertawa.

"Hahaha, tokek Babah..." kata Anak lelaki itu.

"Adnan, belajar lagi nama-nama binatang ah! Jangan dengerin Babah!" Kata Mia memberengut.

"Enapa?"

"Babah ngaco!" sahut Mia sambil memberikan mainan lego. Ardan terkekeh di belakang.

"Telus Dadan belajal cama ciapa?" tanya anak itu.

"Sama Ambu," jawab Mia.

"Bubu?" tanya anak itu.

"Iya," sahut Mia.

Anak itu tersenyum menatap ke arah belakang Mia tepat dimana Ardan berada, yang ternyata sedang memprofokasi supaya menolak. Namun gerakan alias isyarat sembunyi-sembunyi itu membuat anak kecil it (Adnan) malah tertawa.

"Syuuttts--" Ardan menempelkan telunjuknya di bibir.  Tapi desisannya terhenti ketika Mia nenggapai pinggangnya dan mencubitnya.
"Aww!"

Adnan tertawa lagi.
"Bubu tadi Babah bilang jangan mau," kata Adnan dengan polos, dalam suaranya masih ada sisa-sisa tawanya.

"Iya, Babah nakal. Jangan dicontoh ya?" Adnan mengangguk. Lalu kemudian pergi berlari meninggalkan dapur.

"Ngajarin anak kok salah salah," Mia merutuk, berdiri lalu mulai membereskan meja dapur yang sudah dipakai untuk makan sore itu.

"Hehehe, nanti juga dia bisa sendiri," sahut Ardan menghampiri Mia dan duduk di salah satu kursi lalu memandangi Mia sambil mengecoh pelan.

Mia tadinya mau memgabaikannya, tapi dia terkekeh kecil ketika mendengar suaminya yang menjengkelkan itu sedang membaca ayat kursi.

"Marah itu berasal dari setan yaang..."
"Aku bacain deh ayat kursi."

Mia tak memberikan tanggapan dia sibuk membereskan wadah-wadah di atas meja makan.

Setelah semuanya bersih dan rapi, "sini," kata Ardan.

"Apa?" tanya Mia tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.

"Aku mau ngomong," sahut Ardan dengan wajah serius.

Mia merengut sebentar, membaca wajah Ardan yang serius akhirnya Mia menghampiri dan berdiri di hadapan Ardan. Tanpa aba-aba Ardan menarik Mia sampai duduk di lahunannya. Ibu satu anak itu terpekik kaget lalu menghantamkan pukulan ringan ke bahu Ardan.

"Hehe, berat kamu ya?"
"Gendutan nih."

"Ish! Aku gak gendut!"

"Masa sih? Berat juga."

"Enggak, aaah!"

"Gendut itu ciri bahagia kata orang mah." Maka Mia makin cemberut.
"Hehe iya, iya nggak gendut, cuma agak meleber." Mendengarnya Mia mencubit pipi Ardan. "Tapi selalu cantik da." Kali ini Mia mencebikan bibir, mencibir perkataan suaminya.

"Serba salah," eluh Ardan.

"Mau ngomong apa?" tanya Mia.

"Serius tadi di sekolah Adnan ngaco gitu jawabnya?"

"Iyaa, malu... masa anak kepala sekolah nilainya jelek."

"Hehehe, iya nanti aku benerin..."

Ardan tersenyum geli melihat istrinya sedari tadi siang kesal karena ulahnya. Iya, Ardan mengajari Adnan nama-nama hewan dengan asal. Padahal itu untuk test serius. Alhasil Adnan dapat nilai lima.

"Iiih!" Mia mencubit hidung Ardan, ia tak bisa marah lama-lama. Apalagi kalau tatapan Ardan sudah jahil seperti itu. Suka geli liatnya.

"Dadan, minta dede loh," bisik Ardan.

Mia lekas berdiri, "yaudah!"

"Ayok!" Kata Ardan dengan semangat sambil bangkit dari kursinya.

"Iddiihh, maksud aku yaudah bikin sana. Sendirian!" Mia memeletkan lidahnya lalu bergegas pergi dari dapur.

"Adnaaaan, mandi dulu yuk!" teriak Mia.

"Bentar lagi Ambuu..."

Ardan tersenyum membuntuti. Bahagia, hidupnya semakin lengkap. Dan semangat akan menjalaninya semakin berkobar.

"Mia," kata Ardan berdiri si frame dapur.

Mia yang sedang melucuti pakaian Adnan menoleh. Seharusnya Ardan jangan memanggilnya dengan nama di depan Adnan, soalnya Adnan selalu mencontoh apa-apa yang dilakukan Ardan. Dengan bahasa wajah Mia bertanya ada apa.

"Nggak papa," jawab Ardan. Lelaki itu tersenyum dan kembali terkekeh ketika istrinya mendelik sinis.

Tugasku adalah membahagiakan kalian terlebih dahulu. Aku mah gampang. Yang penting sekarang aku fokus pada kalian, sampai kalian bilang aku bosan bahagia.

--Bandoeng

Hehehe, maaf buat beberapa adegan yang menjurus. Happy wedding hmmm... wkwkwk.

(From) Bandoengحيث تعيش القصص. اكتشف الآن