Bandoeng 8

461 37 1
                                    

ºALUN-ALUN BANDUNGº

Setelah makan aku dan Ardan jalan-jalan sebentar di sekitaran alun-alun.

Aku melihat beberapa petugas keamanan bertugas mengawasi. Karena ada sebagian pengunjung yang sering melanggar peraturan di area alun-alun, seperti membuang sampah sembarangan, menginjak tanaman dan merokok. Juga sebagai penjagaan terhadap tindak kejahatan atau pencurian. Selain itu di alun-alun sering sekali terjadi kasus kehilangan anak, karena terlepas dari pengawasan orang tuannya.

Berdasarkan informasi dari Tante Ani katanya setelah direnovasi alun-alun Bandung ini kembali resmi dibuka untuk umum pada 30 Desember 2014 lalu.

Setelah puas jalan-jalan dan berfoto aku menunggu Ardan melaksanakan shalat Ashar di mesjid Raya Bandung yang letaknya dekat dengan alun-alun. Dia bilang mau munfarid aja supaya aku gak lama nunggu.

Setelah cukup lama akhirnya Ardan keluar dari masjid menghampiri dan duduk di sampingku--yang duduk di beranda nasjid. "Enak ya jadi cewek. Kalu haid gak usah sholat," katanya tiba-tiba sambil berkutat dengan tali sepatunya.

"Kata siapa enak." Mendengar sanggahan dariku dia langsung menatapku. "Tahu dysmenorrhea?" tanyaku.

"Sumilangeun?" Aku mengartikannya ke dalam bahasa Sunda.

Dia merengut sebentar. "Sering denger," Ardan menghendikan bahu lalu membereskan aktivitas tali menalinya "kek semacam sakit perut kan? tapi nggak tahu detail."

"Iya itu sakit perut saat haid gak lancar." Kami berjalan menuju tempat motor diparkirkan.

"Tahu gak, ada tiga hal yang menyakitkan yang gak akan pernah seorang perempuan lupakan." Ardan menatapku serius menunggu ucapanku selanjutnya.

"Apa?" Ardan menggenggam tanganku ketika menyebrangi jalan raya. Baru dia melepas tanganku setelah sampai.

"Satu, sakit menstruasi. Dua, sakit malem pertama. Tiga, sakit ketika melahirkan." Ardan langsung menoleh kepadaku dengan raut wajah yang tak bisa ku deskripsikan, mungkin itu ekspresi jailnya.

"Opsen kedua tadi apa?" Dia menyerahkan helm kepadaku dan langsung kukenakan.

Aku diam untuk berpikir dan sedikit ragu mengulanginya, "sakitnya malem pertama," jawabku pelan.

Dia terkekeh lalu menungangi vespa nya. Aku segera duduk di boncengan ketika Ardan sudah siap. "Tenang nanti aku mah bakal pelan-pelan."

Sontak aku memukul bahunya sejurus Ardan tertawa renyah. "Pelan-pelan biar Mia gak sakit," katanya lagi. Aku mengulangi pukulanku dan sekarang dia mengaduh. "Kenapa aku dipukuli?" tanyanya pura-pura tidak mengerti.

"Karena kamu mikirin nya jorok."

"Jorok apa?" So polos!

"Itu, pelan-pelan buar aku gak sakit, apa coba?"

"Iya, pelan-pelan bawa motornya eh!"

Uhhh, apa aku harus malu? Tapi sepertinya yang dimaksud Ardan itu sama dengan yang aku pikirikan. Lebih baik aku diam.

Tiba-tiba Ardan tergelak. "Udah kodratnya cowok pikirannya gitu Mia. Kan awal pubertas aja cowok itu mimpi yang--ekhemm." Dia tak melanjutkan melainkan malah berdeham.

Untuk pulang ke daerah Malabar Ardan menjalankan motornya tidak berbalik ke jalan Ahmad Yani. Tapi dia memilih jalan Braga. Modus deh kayaknya supaya lama di jalan.

"Iya, kodratnya cowok enak sendiri dan nyakitin perempuan!"

"Kalau masalah menyakiti, nggak semua cowok sama Mia... dan kalau tentang cowok itu seenaknya atau hidupnya enak-enak aja, aku kurang setuju.

(From) BandoengDove le storie prendono vita. Scoprilo ora