#3

289 22 11
                                    

Jangan berekpektasi terlalu tinggi, sebab sekalipun orang yang kau percaya adalah ahli, bisa saja ia mengecewakan.

Ardan bilang akan mengajakku ketemu dan jalan-jalan untuk melepas rasa rindu.

Tapi baru saja dia nelpon dan membatalkan janji. Dia bilang ada acara konvoi atau sejenis tur, entahlah yang jelas dia lebih memilih bersama kawanannya. Katanya para ketua senat akan ikut juga, jadi dia gak bisa nolak.

Tapi, jangan panggil Mia jika aku tak bisa membuat si dia akhirnya nurut. Aku juga jadi ikut, turnya ke daerah bukit yang terkenal di daerah Cimeyan Bandung, yap bukit Moko.

Awalnya senang, namun akhirnya dicuekin sedari tadi. Seebab dia asik dengan kawannya.

Sampai makan malam tiba, aku diam karena kesal dicuekin. Dan Harusnya senja tadi kulewati dengan romantis. Tapi dia malah turun bukit bersama teman-temannya, entah kemana.

Pukul sepuluh dia kembali dan dia cuma memberiku jaket, mengajakku ikut gabung dengan kawannya. Aku menolak keras tapi tidak dibujuk dengan keras.

Dan lihat deh sekarang si sayangku yang sue itu sedang bercengkrama bersama gitar dan kawanannnya. Semantara aku duduk melamun dekat tenda, sempat ditemani Fahri dan Dea namun kemudian akhirnya mereka izin pergi mau jalan-jalan dan mungkin makan di warung.

Tante Ani juga ikut camping loh, walau ikutnya juga tidak memberi keuntungan juga. Dia sibuk juga dengan suaminya, Om Bimo.

Coba kurang mengenaskan apa lagi aku?

Ardan mah gitu kalau udah asik lupa sama yang lain.

Aku menikmati cemilan, mengunyahnya keras-keras supaya Ardan yang menghampiri melihat jika aku marah.

Dia jongkok di depanku.
"Mia, mau bobo?" katanya.

Aku diam dan terus mengunyah.

"Bobo gih..." lanjutnya.

Aku bangkit dan masuk ke dalam tenda, merebahkan diri lalu berselimut tanpa mau tahu lagi apa yang akan dia katakan.

"Yang!"
Dia membuka resleting tenda lalu melongok. "Met bobo," katanya sembari berbisik dan aku tak pedulikan dia. Jadi dia kembali menutupnya dan pergi begitu saja. Ish!
.
.
.

"Mia!"
"Mia!"
"Anteur hoyong kahampangan," (Anter pengen buang air kecil.) Dea menggoyankan bahuku beberapa kali.

"Minta Fahri aja," kataku yang setengah sadar.

"Ih takut, nanti atuh diintip," katanya.

Aku ingin menolak sebenarnya. Aku ngantuk, dan udara bukit sangat dingin ketika malam hari. Tapi aku kasian melihat Dea, bagaimana kalau aku yang ada diposisinya.

Kulihat jam di tanganku, nyaris menunjukan pukul dua belas malam. Jadi tiba-tiba takut.

"Kita bangunin juga Fahri ya?" kataku dan Dea mengangguk.

Kami keluar dari tenda, agak jalan sempoyongan sebab bangun tidur. Suasana ternyata sepi, kupikir akan ada pengunjung lain yang masih melek, tapi ternyata tidak ada, untung ada jongko beberapa warung sehingga suasana tidak terlalu ekstrim.

"Yaudah bangunin gih Fahrinya," kataku.

Dea mendekati tenda yang ditempati Fahri dan Ardan. Dan mulai memanggil-manggil Fahri, namun tak kunjung ada sahutan. Lalu Dea memeriksa dari celah bawah, "pantes! mereka gak ada..." kata Dea.

(From) BandoengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang