Bandoeng 33

297 24 4
                                    

ºPulangº

Ardan PoV

Ulangan tengah semester sedang berlangsung. Aku pemalas, dan jadi lebih pemalas akhir-akhir ini. Jika ada yang pernah bilang, break dulu pacaran buat fokus belajar mengahadapi ujian sekolah, bagiku itu bulshit!

Kenyataannya itu tidak berlaku untuk ku. Aku malah sering keluar rumah cuma untuk melupakan sebentar semua perasaan buruk terutama sepiku. Tapi kemana saja dan di mana saja, rasa sepi tak pernah kalah dan selalu menang. Mia pergi membawa ramai dan gairahku.

Sore ini aku sedang berkumpul di tempat yang mungkin semua anggota senang memanggilnya dengan base-camp, tapi aku suka menyebutnya beskem. Kunikmati sebatang rokok dan kopi sambil menatap ke jendela.

"Monyet! Eleh wae laaaah..." eluhan keluar dari mulut Galuh entah ke berapa kalinya, yang artinya dia kalah melulu.

Aku terkekeh meliriknya, dengan wajah belepot bedak dia sedang kepayahan menghadapi si Usup, Danar, Ipang, Nugi, Omay, dan Ardi di meja bundar dengan kartu remi di tangannya.

Kami merokok, minum kopi dan juga maen remi. Tapi tidak judi, tidak juga mabuk-mabukan, apalagi ngeganja seperti yang suka sekali disangkakan orang. Kami punya kaki, meski sering dipake nendang, tapi kami tahu jalan yang sangat salah dan jalan yang benar. Intinya tahu tingkatan-tingkatan kenakalan, kami berada di level tengah. Yang gak oantes disebut anak baik, juga gak pantes menyandang bajingan.

Coretan di wajahku juga ada, tadinya itung-itung maskeran tapi lama-lama aku sadar, malu juga dikalahin mereka, karena dimana ada manusia dipanggil boss tapi kok K.O. Jadi aku mundur dan memasukan Nugi untuk menggantikan.

Aku duduk di kursi, di sisi mereka dekat kejendela yang mengembun karena dingin gerimis. Besok jadwal ulangan Fisika, tapi mereka dan aku bukan tipe manusia ribet. Kami tiak mendewakan sosialisasi namun nyaris, cuma menggangap kebersamaan dalam ceria lebih seru dibandingkan dengan bercengkrama dengan buku-buku. Masalah masa depan? Tak usah khawatir, karena kata Danar nikah atau naek ojek tak perlu pake rumus Einstein. Hahaha.

"Dan, aya nu neangan!" (Dan, ada yang cari!) Dadang tiba-tiba muncul dari ambang pintu yang kemudian diikuti Fahri.

"Dista," kata Fahri sambil agak berisik.

Ek naon deui? (Mau apa lagi?) aku mengumpat dalam hati. Kemudian segera berdiri dari kursi dn pergi menenuinya. Tadinya mau suruh dia masuk saja, tapi lupa di dalam sini jantan semua.

Aku keluar dan melihatnya sedang duduk di tembok pembatas teras. Bangunan beskem ini seperti rumah, tepatnya ini adalah bekas warung kecil yang terletak jalan Sanggi, warung yang tanahnya kebetulan punya orang tua Omay.

Aku menyandar di tiang kayu yang berdiri tegak di sisi dekat Disra. Kumasukan kedua tanganku yang membeku ke dalam saku, sebab Bandung sangat dingin sore ini.
"Ada apa?" kutanya dengan datar.

Dia tersentak lalu menoleh ke padaku. Detik selanjutnya dia terkekeh, "jangan so' cool Kak, kalau wajah masih bedakan."

Sial! Kuperiksa pipiku dan aku rasa memang ada tang mengering di sana. Pantas wajahku terasa gatal.
"Ngapain?" tanyaku lagi. Dan Dista pun berdiri menghadapku.

"Kak, mau kan maafin aku sama Ayah?" katanya.

Sebenarnya secara konteks dia tak bersalah, cuma saja aku menganggapnya ikut bersalah. Karena dengan kehadirannya, Ayahku merasa keluarganya lengkap dan bahagia. Lebih lengkap dan bahagia bersama istri simpanannya dibandingkan dengan istri sahnya.

Aku terkekeh sinis, "bilang minta maaf langsung baru gua jabanin." Aku pun segera melengos ke dalam tak peduli dia terus memanggil-manggilku.

"Di sini cuma ada hewan jantan pulang sana!" kata Fahri ketika Dista berusaha masuk ke dalam.

Entah kenapa rasa kasihan muncul begitu saja. Aku kembali menghampirinya. "Lo pulang. Apa gak takut sama kawan-kawannya bangsat?" kataku. Mengingat bagaimana Ayah selalu meneriaki aku dengan kata-kata itu.

"Kaaaak..." katanya sambil terisak mengiba.

"Gua punya hidup sendiri, lo juga. Kita urus hidup masing-masing. Oke?"
"Lupain gua." Aku kembali duduk di kursi tanpa peduli Dista yang menangis.

Dan sore ini berakhir dengan pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa Dista. Sisi lain ada kekacauan yang semakin semarak di benakku.

.
.

Aku pulang pukul tujuh, setelah ditelpon Ibu agar pulang. Ketika sampai rumah, kulihat sebuah sedan mewah hitam terparkir di halaman rumah, dan aku langsung ingat siapa pemiliknya.

Emosiku membuncah, kutendang pagar dan masuk ke rumah. Kusaksikan Ayah, Dista, Ibu yang memangku Arla berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang. Sepertinya mereka menyadari kedatanganku ketika pagar yang kutendang menimbulkan suara gedebrak keras.

"Ardan?" kata Ayahku berbarengan dengan Ibu. Dan Dista menyusul dengan menyebutku "Kakak?" ketika aku muncul.

Aku menatap sengit ke arah Ayahku yang justru menatap sendu ke padaku. "Ngapain Anda ke sini?" kutanya.
"Ingin ganggu hidup kami lagi?"
"Ingin menyengsarakan kami lagi?"
"Ingin menghina?!"
"Saya bukan Ardan yang dulu Anda kenal!!"

Ibuku menghampiri dan berusaha menenangkan aku. Tapi rasanya aku sedang mendapat akses bebas untuk meluapkan segala apa yang terbesit. Emosiku, mungkin juga keturunan jelek dari Ayahku.

"Ardan... nak... jangan begitu bagaiaman pun dia Ayahmu. Kamu takkan ada tanpa dia," kata Ibuku.

Aku menatap Ibuku dengan emosi yang hilang seketika. "Tapi aku tumbuh cuma karena tangan Ibu, Ibu sengsara cari uang karena dia lebih senang memberikannya pada wanita-wanita kurang berotak."

Dista terisak di bahu Ayah, dan Ayah menenangkannya.

"Tangisanku lebbbih dari itu!!" kataku. "Tapi Anda tidak peduli."

"Kamu jangan gitu... kasian, Dista baru ditinggal Mama nya," kata Ibuku lagi.

"Nak... maafin Ayah, dan Dista yah?" kata Ayah.

Aku diam... cukup lama. Lalu mengambil napas dalam-dalam dan menghempaskanya gusar.
"Jika itu yang akan membuat kalian tidak lagi mengganggu keluarga baru saya. Oke, saya maafkan. Tapi dengan segala hormat tolong jangan datang lagi kemari, ke kehidupan saya. Saya sudah bahagia."

Kemudian aku melengos keluar rumah, kembali memacu motorku entah untuk pergi kemana.

Aku tahu aku salah dan tidak sopan, aku sangat menyadarinya, tapi setiap orang berhak merasa nyaman kan? Aku ingin kenyamananku, tanpa Ayah.

Aku sudah terbiasa seperti itu. Hanya ada aku, Ibu, Arla, Papa.

Dan... Mia, beserta kawananku.

Itulah hidupku.

Kuanggap tuntas masalah Ayahku dan Dista.

Dan akan kukejar yang penting-penting saja, yang aku butuhkan, yang nyaris sudah aku lepaskan.

Mia tunggu aku kembali.

Semoga kamu masih mau.

Kalau tidak...

Sepertinya butuh hari-hari untuk menyambut pikiran dan hati yang baru tanpa kamu.

--Bandoeng

(From) BandoengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang