Bandoeng 30

298 22 2
                                    

ºKEPUTUSANº

Perasaanku masih hampa, kosong. Agak malas sebenarnya pergi ke sekolah. Apalagi aku yakin akan segera menerima hukuman. Tapi berani berbuat maka harus berani bertanggung jawab. Kebetulan aku dan kawan-kawanku bukan pecundang. Aku juga mempunyai kewajiban lain, yaitu memberi penjelasan kepada Mia.

Aku menjemputnya tadi pagi, untuk pergi bersama ke sekolah. Tapi Oma bilang padaku kalau Mia sudah berangkat bareng Tante Ani. Aku jadi yakin dia ngambek. Dia pasti tahu kalau aku berantem lagi, sebab seperti biasa setelah aku berulah pasti aku dipanggil ke depan saat upacara.

Setelah upacara aku dan kawan-kawanku dipanggil ke ruang BK. Aku berusaha menjelaskan alasan kenapa kami melakukannya. Sebagai buktinya Zidan si adik kelas yang menjadi korban Gandhi pun juga ikut dihadirkan ke ruang BK. Kami dihukum membersihkan toilet, masjid, dan area sekolah lainnya. Katanya jika ada lagi masalah hal yang serupa, biar pihak sekolah yang menangani dan kami cuma cukup menjadi murid yang tidak bertindak seenaknya dan menaati peraturan.

Aku baru selesai menyapu taman-taman di depan kelas. Ketika kulihat ke deretan kelas IPA, kulihat Mia sedang mengobrol bersama teman-temannya di depan kelasnya. Dari pagi dia menghindariku, hal itu membuat semua perasaan hampa terasa lebih sempurna. Kenapa dia harus menjauh saat aku sedang butuh?

Tatapan kami saling bertemu, aku tersenyum padanya namun dia cepat-cepat memalingkan wajahnya. Kemudian ia kembali berbincang lagi tanpa mau tahu dengan keberadaanku dan perasaan didalamnya.

Senangnya saat dia beranjak dari sana dan berjalan mendekat ke lorong koridor sini. Aku segera meloncati pembatas koridor. Lalu berjalan ke arahnya. Dea dan Mutia menyikut Mia sebagai sinyal pemberitahuan jika ada aku. Tapi Mia tak peduli, tatapannya lurus tak menatapku.

Bukan sikap seperti ini yang kuharapkan darinya. Tapi aku juga harus memakluminya, sebab aku sudah membuatnya kesal karena berantem lagi.

Bahaya, dia bahkan tidak peduli pada tali sepatunya yang terlepas, bagaimana kalau jatuh. Ketika sampai di hadapannya, aku langsung berjongkok mengikatkan tali sepatunya.

Dea dan Mutia tiba-tiba merespon dengan bersorak. "Mmmhh... sweeeeet," ujar Mutia. "Cieee!" kata Dea.
"Ah Mia kita duluan ya," sambungnya, lalu mereka pergi. Mia memanggil mereka seperti keberatan harus berduaan denganku.

Aku menegakan diri kemudian menatapnya dalam.

"Apa?" katanya dengan datar.

"Biar aku jelasin ya?"

"Gak usah! Bosen denger kamu." Dia melengos melewatiku.

"Mia!"
"Mia!" Dia tak merespon dan terus berjalan ke arah kantin.

Haruskah kukejar? Atau biarkan saja? Kupikir dia butuh merasa tenang.

.
.

Bel pulang berbunyi, aku segera bergegas pergi dari kelas. Aku mencari Mia ke kelasnya tapi dia sudah tidak ada. Pasti sengaja pulang buru-buru.

Segera aku berlari ke parkiran dan mengendarai motorku. Akhirnya aku bisa melihat Mia. Dia sedang berjalan sendirian.

"Biar aku antar," kataku ketika sudah sampai di sampingnya.

"Gak usah!" jawabnya tanpa menoleh.

"Ayo Mia..." aku menggayuh motor dengan kakiku.

Dia melirikku sekilas dengan sinis, lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Yaang..." kataku dengan lembut.

"Ck! Nggak ya nggak!" suaranya meninggi.

"Ya sudah, aku pergi yaa... duluaaan," kemudian aku menyalakan motor dan mendahuluinya.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now