Bandoeng 31

296 24 13
                                    

ºKeputusanº

"Ardan... aku capek..."
"Aku mau kamu ngerti tapi kamu nggak ngeriti!"

Ardan diam cuma memastikan apakah Mia sudah selesai bicaranya atau belum.

"Aku mau kita break!"

Sepertinya itu keputusan terbaik menurut Mia. Karena lelah jika kau terlalu sering ketakutan atas kelakuan buruk seseorang yang kau sayang. Sekalipun hal itu tujuannya baik, tapi dengan cara yang salah bagi Mia... bebrati Ardan tak mengerti dengan apa yang Mia rasakan.

Melihatnya babak belur, melihatnya dimarahi, melihat orang-orang menganggapnya sampah, itu sangat menyakitkan. Mungkin dengan cara ini, Mia bisa menyadarkan Ardan jika ia patut berlaku baik dan dihargai orang. Bukan! salah sekali jika kau beranggapan Mia malu harus memiliki hubungan dengan anak bandel. Mia lelah, dan jika kaupikir lelah itu "cuma" atau "hanya" kusarankan sebaiknya cari pacar sejenis Ardan atau jadilah kamu kekasihnya, dan rasakan bagaimana lelahnya.

"Kalau aku capek sih aku maunya minum," Ardan berusaha tersenyum walau jauh dalam hatinya, jika memang capek maka harus istirahat. Tapi Ia hanya sekedar membuat suasana membaik, siapa tahu Mia akan kembali tersenyum seperti biasanya.

"Aku serius," sebenarnya tak perlu untuk sekuat tenaga Mia memancarkan apa yang ia rasa lewat matanya. Ardan, ia mengerti sekali kalau Mia sedang serius.

"Break? Pacaran itu beda sama sekolah Mia... masa ada istirahatnya." Lagi-lagi cuma argumen tak berguna yang disertai harapan Mia akan segera berteriak dan tertawa jika dirinya hanya bercanda.

"Aku mau break!" ulang Mia mempertegas.

Cukup lama mereka bertatapan, membisu seolah membiarkan mata saja yang mengungkapkan perasaan masing-masing. Mia benar-benar tak pernah nenginginkan ini, tapi ia harus apa saat lelah itu datang. Jika dipertahankan ia justru takut kalau akan membuatnya malah perlahan merasa ingin benar-benar melepaskan Ardan. Jadi Mia memilih jalan ini, tak peduli rindu akan menyerbunya nanti. Muungkin ia bodoh karena tak berkaca dari hari-hari kemarin, hari-hari disaat ia menghindar. Iya ketika itu rindu begitu kerasa menyiksanya.

"Prinsipku gak ada yang setengah-setengah Mia, bagiku PDKT itu setengah berarti keseluruhan maksudnya adalah mau jadian," Ardan diam sebentar, ia tak sanggup, tapi inilah pemikirannya.
"Dan break... break itu setengah, keseluruhannya putus."

Mia sedikit terhenyak oleh ucapan Ardan. Perasaan takut menyerangnya, ia tahu bagaimana sikap Ardan apabila sudah bersangkutan dengan fahamnya.

"Aku mohon Ardan... nggak gitu, cuma break." Mia ingin membuatnya mengerti, ingin membuatnya paham. Tapi kenapa selalu tak sama dan berbeda?

"Tapi buatku begitu Mia..."
Keduanya kembali tercenung. Hati dan pemahaman masing-masing yang berselisih. Tercipta ego yang akhirnya akan mereka sesali.

"Berarti kita putus," lanjut Ardan. "Aku terima, dan kamu terima fahamku." Ardan mundur, perlahan tatapannya terlepas dari kedua bola mata cokelat Mia yang perlahan seolah meleleh.

Ardan berggas mengendari motornya, sedang Mia kesedihannya tergenapi dengan rasa kehilangan. Lalu hampa menyergap begitu saja. Lemas, bukan cuma lelah pada peperangan dan gejolak emosi, namun juga berlaku pada fisiknya.

"Ardaaaaan!" teriaknya. Entah teriakan menyesal atau apa, yang jelas sejenis teriakan agar dia tidak benar-benar pergi.

Ardan memacu motornya di jalan seolah lorong gelap yang ia telusuri. Menggebu di hatinya sesuatu yang membuatnya sesak. Tubuhnya beretar hebat, kemarahan hampa yang tak tahu harus menyalahkan siapa.

Dan sore itu...

Keduanya merasa gamang. Penyesalan, lelah, rindu, kesal... berkecambuk seperti perayaan meriah. Menyerang pemilik raga yang di tempatinya tanpa tahu malu.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now