Bandoeng 6

535 36 2
                                    

ºARDAN IMAM ARZAKº

Kemarin Ayah datang. Tumben juga mama Nadin dan Liliana tidak ikut.

Oh iya, sebelumnya kenalkan nama ayahku Iskhan, Nadin adalah Ibu kandung Liliana tapi dia Ibu tiriku. Sedangkan Liliana adik satu ayah denganku.

Almarhum Ibuku namanya Satya. Aku tinggal dengan Tanteu Ani (Adik Ibu) dan Oma Ningrum (Ibu dari Almarhum Ibu dan Tanteu Ani.)

Ibu dan Ayah bercerai ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Aku hidup dalam kesederhanaan bersama Ibu di Bandung. Lalu ketika aku menginjak kelas 2 SMP Ibu jatuh sakit kemudian meninggal. Aku ikut ayah ke Jogjakarta dan menghabiskan masa SMP sampai dengan kelas 2 SMA di sana. Tapi akhirnya aku tak tahan berhauh-jauhan dengan kota kelahiranku, Bandung tercinta. Jadi aku memutuskan kembali ke Bandung, tinggal bersama Oma dan tanteu.

Dan karena ayah kemarin datang ke Bandung, itu sebabnya aku sekarang diantarnya ke sekolah dengan mobil sedan tuanya. Aku meninggalkan sepeda kesayanganku dengan berat hati.

Ayah mengajakku mengobrol sedari tadi, menanyakan bagaimana sekolah baruku, bagaimana teman-temanku, dan aku menjawabnya. Mungkin aku malah bercerita.

Yah... menceritakan kejadian penting apa saja yang kulalui di sekolah baruku itu.

Kecuali satu hal, padahal itu teramat penting menurutku. Aku tak menceritakan tentang seorang siswa laki-laki yang sedang mendekatiku, Ardan.

Entah, rasanya membahas hal yang satu itu harus pada ahlinya. Perempuan. Aku lebih nyaman bercerita kepada sesama perempuan untuk membahas masalah yang lebih privasi.

"Ada cowok yang naksir gak?" Celetukan ayah membuat jantungku mencelos seketika.

Aku diam beberapa saat, menimbang-nimbang apakah aku harus berkata jujur atau tidak. Aku takut salah, jika kujawab tidak ada, apa ayah akan tertawa dan mengejek? Tapi jika kujawab ada, aku takut nanti ayah malah berceramah ria menasehati ku tentang fokus belajar.

Ayah melirikku dari kaca mobil, dia tersenyum. "Ya sudahlah, fokus dulu belajar kamu nak. Jodoh gak bakal kemana."

Aku tersenyum.

Sampai di sekolah aku segera keluar dari mobil setelah mencium punggung tangan ayah dan mengucapkan salam.

Melangkah memasuki gerbang sekolah, kemudian ada rasa tak sabar tiba-tiba menyelundup di hati. Dicampuri rasa senang ingin segera dan cepat-cepat. Dan perasaan itu adalah rasa ingin berjumpa dengannya.

Aku mematung di koridor sekolah yang berbentuk huruf L. Menerawang tepat di depan pintu kelasku yang masih tertutup rapat. Mataku terfokus pada pintu di ujung koridor sana, pintu itu sudah terbuka entah sejak kapan, pintu dengan tag nama bertulisakan XII IPS I. Dan aku berharap seseorang muncul dari dalam kelasnya atau dari ujung koridor sana.

"Kok gak masuk?" Suara itu membuatku menoleh ke sumber suara, tepat di belakangku.

Oksigen seolah tiba-tiba menguap atau mungkin serempak menjauhiku. Jantungku berdetak kencang dan pijakan kakiku melemah. Aku benci reaksi semacam ini.

"Irhan?" tanyaku. Dia tersenyum. "Kirain siapa." Aku segera kembali berbalik dan berusaha mengacuhkannya.

"Tuh kan gak nungguin." Suara perempuan itu kenapa bisa masih terasa menyayat hatiku.

Kudengar Irhan tertawa. Tawa yang sama dengan empat tahun lalu dan masih bisa kuingat jelas hingga sekarang. Entah kenapa aku sekarang benci mendengarnya. Mendadak aku rindu dan ingin mendengar tawa renyah yang semalam kudengar.

"Duluan." Irhan dan Dania melewatiku bergegas ke kelas mereka sambil bergandengan.

Aku memang sudah memutuskan untuk berhenti menyukai Irhan. Tapi menghentikan perasaan tak semudah kau menghentikan ban sepeda dengan menekan rem.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now