Bandoeng 9

431 33 2
                                    

ºCEMBURU?º

Pagi ini kuawali dengan ceria. Tante Ani sudah bisa mengantarku lagi, karena mobilnya yang beberapa minggu diperbaiki di bengkel sudah selesai.

"Pagi mang..." Aku tersenyum pada Mang Dede, satpam sekolah. Mang Dede yang sedang menyiram tanaman dekat pos menoleh lalu balas tersenyum.
"Pagi neng," sahutnya.

Sebelum ke kelas, aku memutuskan pergi ke kantin terlebih dahulu untuk membeli roti--yang sering kubeli ketika aku tak sempat sarapan. Dan ya hari ini aku belum sarapan. Aku dan Tante Ani bangun kesiangan karena semalaman kami tak tidur karena Oma sedang tidak enak badan.

"Bi beli roti." Aku mengambil rotinya. Khusus di warung yang ini pembeli bisa membawa sendiri apa yang akan dibelinya. Kuserahkan sejumlah uang yang sama dengan harga roti itu pada Bi Mae yang sibuk memasak gorengan.

Duduk di meja kemudian memakannya. Aku tak perlu membeli air minum. Hari ini aku membawanya dari rumah. Tante Ani yang menyediakan, katanya biar aku gak jajan es karena cuaca sedang buruk.

Setelah cukup lama tk terasa sekolah semakin ramai. Aku juga melihat Bara dan Fahri pergi menuju warung Bi Enok. Seperti biasa, warung itu digunakan khusus untuk siswa laki-laki. Selain makan disana mereka bisa merokok. Katanya kepala sekolah pernah memperingatkan siswa-siswa supaya tidak merokok di lingkungan sekolah, awalnya peringatan itu ditaati, tapi lama-lama tetap saja kembali seperti itu.

Ketika selesai srapan roti aku segera bergegas menuju kelas. Melintasi koridor serentet kelas IPS, dan kakiku tak ingin beranjak ketika berada tepat di depan kelas XII IPS 1. Membuatku ingin memeriksa ke dalam kelas.

Diam-diam aku melirik ke dalam. Dan yang kulihat beberapa siswa yang sudah datang. Tidak ada Ardan, tapi tetap ada yang mencuri perhatianku. Dania dan Irhan duduk berduaan di atas meja sambil berbincang dengan seru. Tak mau merusak moodku aku segera memalingkan wajahku kembali  ke depan. Tapi seseorang dari dalam kelas meneriakan namaku.
"Mia!"

Aku menoleh sedikit kaku karena takut dia memergoki apa yang kulakukan barusan. "Hai." Sahutku pada seorang anak laki-laki, entah siapa. Dan hal itu membuat Dania serta Irhan ikut menoleh.
Aku mendapat delikan pedas dari Dania dan tatapan datar dari Irhan.
Aku merutuk dalam hati. Aku tak menunjukan reaksi apa pun untuk keduanya dan memilih untuk kembali berjalan.

Kamu pikir aku masih menyukai pacarmu? Sorry! Makan tuh Irhan!
Kataku dalam hati berusaha menetralkan kembali emosiku. Itu berhasil untuk sesat. Karena kemudian emosiku kembali meningkat setelah melihat sesuatu di teras kelasku.

Ardan dan Anita duduk berdua terlihat begitu asik membicarakan sesuatu. Mereka menatap ponsel yang  Anita bawa sambil tertawa. Sesekali Ardan berbicara dan kembali tertawa, begitu juga Anita. Gadis itu juga tersenyum manis sambil melakukan beberapakali lirikan diam-diam pada Ardan.

Aku menghela napas kemudian mencoba melangkahkan kembali kakiku yang mendadak jadi kaku.
Kulewati mereka tanpa menyapa keduanya. Meski aku sadar Ardan melirik ku.

Aku menghempaskan diri di bangku. Tercenung dan mulai menyadari siapa aku? Dan apa hak ku untuk menghakimi? Aku bukan siapa-siapa nya Ardan, kenapa aku harus tidak suka. Lagipula Anita sudah lebih dulu mengenalnya. Semua juga orang tahu gosip kedekatan mereka, meski ada yang meyayangkan kenapa Anita harus dekat-dekat dengan Ardan. Namun ada juga sebagian yang setuju, katanya mereka serasi.

Aku mengeluarkan buku catatan pelajaran pertama. Tapi sebuah notes kecil yang terselip di dalamnya ikut jatuh ke atas meja.

Aku meraih dan membuka halaman depannya. Banyak coretan bekas aku menghitung pelajaran Fisika dan Matematika. Kemudian kubuka bagian belakangnya ternyata masih kosong.

(From) BandoengDonde viven las historias. Descúbrelo ahora