#2

314 21 17
                                    

Hari itu sekitar bulan Agustus sebelum Ardan pergi ke daerah Bandung yang lebih dekat dengan kampus barunya. Ia sempat datang ke rumah, sengaja menemui Ayahku setelah aku beri tahu dia lewat telpon, kalau Ayah datang dari Jogja.

Dia dengan si vespa hitam kesayangannya datang, tidak mencoba lebih tampil keren, tetap apa adanya dengan jaket jeans kumalnya.

Malam itu jam 8 seusai isa, aku, Ayah dan yang lainnya sedang berkumpul di ruang tengah. Cuma sekedar mengobrol. Aku juga sudah bilang akan ada yang datang, namun tidak menjabarkan secara detail apa statusnya orang itu.

Lalu terdengarlah suara vespa mendekat dan berhenti tepat di depan rumah. Aku segera keluar menemuinya. Berbeda dengan ekspektasi, kukira dia akan terlihat gugup tapi tidak dan santai-santai saja.

"Ada?" tanyanya. Maksudnya adalah apakah ada Ayahku di dalam.

Aku mengangguk. Dia turun dari motor dan segera kutuntun ke teras.

Di depan pintu dengan suara pelan dia berdo'a, "Robbish rohli sodri wayasirli amri wahlul uqdatamilisaani yafqahu qauli”

--Ya Robbi lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku ya Rabb, dan lepaskanlah kekakuan dalam lidahku--

Dia melirikku, "biar lancar yang..."

Lantas aku tersenyum geli lalu mengucapkan Aamiin, rupanya dia gugup juga. Kami melangkah ke dalam sambil mengucapkan salam. Semua menjawab serempak dan mengarahkan tatapan kepada kami.

"Aaahh! Si dia," kata Tanteuku terlihat berapi-api pusing, mungkin karena Ardan sering membuatnya gemas dengan kejahilannya. Oma dan aku tertawa.

Aku dan Ardan menghampiri mereka, aku duduk sedangkan Ardan menyalami keluargaku satu-persatu. Namun dapat tepukan di bahu ketika menyalami Tanteku. Sampai tibalah dia menyalami Ayah.

"Ieu saha ieu?" (Ini siapa ini?) tanya Ayahku.

Ardan membungkukan badan dan tersenyum, "Ardan, kaleresan abdi teh nu sok apel ka Mia," (kebetulan saya ini yang suka apel ke Mia) sahutnya.

"Oh... lumayanlah kasep, haha." Kata Ayahku.

Kemudian kusuruh Ardan duduk di sisiku. Ayah mengajukan beberapa pertanyaan sederhana yang alhamdulillah dijawab lancar oleh Ardan. Bahkan mereka jadi keasyikan ngobrol dan ketawa. Dia memang mudah merebut hati siapapun. Dan kami pun terlibat dalam percakapan keluaraga seru ketika yang lainnya ikut menyahuti dan nimbrung.

Kemudian yang lainnya mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku menemani Liliana main di lantai. Sedang Mama Nadin, Oma danTanteu ke dapur menyiapkan makan malam.

"Lili? Nanti kenalan sama Lala," kataku pada Adikku.

"Siapa?" tanyanya. Dia bisa bahasa jawa tapi ketika bicara denganku dia pengertian dan memilih menggunakan bahasa Indonesia mesti aksennya tetap membludak.

"Adiknya Aa," kutunjuk Ardan yang masih mengobrol dengan Ayah.

"Iya, nanti aku kenalan," sahut adikku yang berusia kurang lebih empat tahun itu.

"Jangan panggil Bapak, Ayah aja lah..." kata Ayahku.

"Gak keberatan sih. Tapi Pak, ditambah Bapak aku jadi punya tiga Ayah," ucapan Ardan mencuri perhatianku juga.
"Jadi bingung... gimana manggilnya supaya gak ketuker."

Ayahku merengut seperti ikut berpikir.

Setelah beberapa detik berpikir, Ardan terperangah.
"Gini aja, Bapak kan panggilan terlalu umum, panggilan Papa udah dipake sama Bapak tiri saya, kalau Ayah udah sama Bapak kandung saya.

"Nah Bapak boleh nggak, saya panggil daddy?" kata Ardan.

Lantas aku tertawa kencang mendengarnya. Ayahku juga terkekeh tapi masih berusaha menjawab, "boleh boleh" katanya.

Ardan terlihat bingung melihat aku dan Ayah tertawa. "Kenapa pada ketawa?" katanya dengan polos.

"Gak pantes!" sahutku.
"Ayah dipanggil daddy? Sama kamu lagi Ar, Hahahah." Lalu tawaku terhenti dan aku tercenung karena mengingat sesuatu.

"Daddy?" tanyaku pada Ayah.

"Itu sebabnya," sahut Ayahku lalu ia ketawa dan aku pun kembali ketawa, sementara si sayang cuma kebingungan.

"Kenapa sih?" tanya Ardan padaku.

"Pengen denger kamu manggil Ayah atuh..." kataku sembari menghampirinya lalu duduk di sampingnya, adikju ikut nyusul dan duduk dilahunanku.

"Boleh," sahut Ardan.
"Daddy... Daddy suka kopi?"  tanya Ardan.

Aku pun tertawa lagi begitu juga dengan Ayahku terkekeh-kekeh.

"Mun lain kabogoh anak uing geus dipites da," (kalau bukan pacar anak saya sudah kupites,) kata Ayahku. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya.
"Nih baca!" KTP diletakan di atas meja.

Ardan meraihnya lalu membacakannya.
"Nama, Ded--di?"  Lantas Ardan tertawa. Aku ikut tertawa begitu juga dengan Ayah.

"Kata kamu nama Ayah kamu Adi," Ardan menyikut lenganku.

"Dedi Mulyadi Iskhan, berasal dari kata Mulyadi," sahutku.

Dan kami kembali tertawa.

Itulah dia... itu, malam itu awal mula dia alias si sayang dekat dengan Ayahku.
Setelah itu kami makan malam bersama.

Dan ketika Ardan pamit pulang, Ayah dan aku mengantarnya sampe ke dekat pagar. Ayah senang berbincang dengannya. Meski aku dan Ardan lagi-lagi harus terkekeh ketika mendengar Ayah menyebut dirinya sebagai orang ketiga alias Daddy. Tapi kami kembali serius mendengarkan ketika dia bilang :

"Nak Ardan, Daddy percaya sama kamu. Kamu bisa menjaga Mia. Jangan sakiti anak Daddy, dia sudah tak punya Ibu."

"Siap Ayah!" sahut Ardan.

"Sudah, panggil saja Daddy," sanggah Ayah.

"Nggak ah,"

"Ayo ah!"

"Nggak Ayah... gak sopan," sahut Ardan.

"Biar, beneran."

"Nggaaak." Aku terkekeh karena mereka saling ngeyel.

"Berani nolak keinginan camer?" tanya Ayah seperti mengancam.

"Eh, iya atuh... Daddy."

Hahahaha. Dan kami tertawa bersama sebelum akhirnya Ardan pulang.

Ardan... sayang, makasih sudah datang malam itu.

--Bandoeng

Tak perlu kau tahu lah wujudnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tak perlu kau tahu lah wujudnya. Tapi ini bibirnya, si asal nyeletuk 😘
Bye : Mia Renjana

(From) BandoengWhere stories live. Discover now