Bandoeng 22

396 26 0
                                    

ºSI BRENGSEK!º

Aku diantar Tante Ani ke sekolah, karena aku harus datang pagi-pagi sesuai kesepakatan seluruh anggota kelompok. Di kelas juga sudah ada tasnya Rizki dan Mutia, mereka pasti sedang di kebun belakang sekolah menyiapkan pupuk.

Setelah menyimpan tas, aku segera bergegas hendak menemui Irhan.
Tapi tiba-tiba handphoneku berbunyi.

Irhan:
Aku di kantin.

Lantas aku berbelok menuju kanti. Dia menunggu di meja siap dengan alat tulis dan kertas untuk mencatat.

Dan sekarang aku tak menyangka dapat duduk bersama Irhan di kantin.

"Pagi," sapanya dengan senyuman.

"Pagi," kusahut lalu duduk di depannya.

"Langsung aja yuk," kataku. Dia mengangguk. Dan kami pun mulai menulis laporan kerja kelompok.

Sedikit canggung dan takut timbul kecemburuan pada Dania, tentu saja aku rasa. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga tugas.

Sesuai kesepakatan anggota kelompok yang lain sedang mengurusi bahan-bahan pembuatan pupuk kompos. Rikzi dan Mutia mengolah kotoran kandang, sedangkan Ipang dan Gisel kemarin sudah membeli keperluan alat untuk cetak kertas.

Aku bertugas mendikte laporan sedangkan Irhan menulis. Laloran ini tidak akan selesai sekarang, karena proses pengerjaannya pun belum selesai.

"Sini biar aku yang terusin..." kataku.

"Gak papa, biar aku yang kerja keras sekarang. Kan nanti tugas pupuk aku gak bisa ikut," katanya.

Iya. Katanya Irhan ada pertandingan futsal ke Jakarta. Ardan juga harusnya pergi lomba design poster, tapi karena dia tidak datang pada saat latihan jadi dia dicoret. Katanya sih sengaja, tiba-tiba males.

Lalu kami kembali fokus, Irhan sibuk menulis dan aku mendiktekannya.

"Masih banyak Mi?" tanyanya.

"Dikit lagi..."

Setelah setengah laporan itu selesai Irhan menghela napas lega, "pegel juga..." katanya sambil meregangkan otot-ototnya. "Kamu mau mimun?" tawarnya. "Haus kan udah dikte?" Irhan beranjak membeli minum sebelum aku menjawab.

Lalu setelah lama ia kembali dengan dua gelas teh manis di tangannya.

"Makasih..." kataku.

"Iya," katanya lalu kembali duduk di kursinya.

Irhan tersenyum sambil menatapku. Entah apa yang ia pikirkan, tapi yang jelas itu membuatku merasa makin canggung. Tapi aku malah terlena untuk merinci wajahnya. Kuperhatikan alisnya yang melengkung sempurna, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tersunging, itu semua masih menjadi daya tarik bagiku.

Gerak mulutnya menandakan jika dia sedang berbicara padaku. Tapi aku tak dengar karena aku terperosok ke bawah alam sadarku. Masuk dalam kenangan dimana Irhan masih menjadi sosok yang amat kukagumi, kumaui dan tentunya aku miliki.

Lalu bagaimana bisa hatinya pernah kupatahkan?

"Mia?" Dia menyentuh tanganku di atas meja dan aku tersentak.
"Ka-kamu ngomong apa Han?" tanyaku sedikit tidak enak.

"I said I still love you," katanya. Mataku melotot begitu saja tanpa kuperintah.
Lalu ia tertawa, mungkin karena melihat ekspresi wajahku.

"What?" tanyaku yang malah ikut-ikutan kebawa bahasa inggris.

Dia terkekeh, "just kidding!" katanya.

Aku menghela napas.
"Mmm... Han, a-aku ke kelas dulu ya?" Tanpa peduli dengan jawabannya aku segera pergi. Aku berlari kecil, memaksakan kakiku yang mendadak lemas. Debar di jantungku ikut membuatku tak tahan, tubuhku bergetar. Serius kakiku lemas!

(From) BandoengWhere stories live. Discover now