Bandoeng 29

389 24 2
                                    

ºBERKECAMBUKº

Ardan Pov
😟

Aku berkumpul bersama kawan-kawanku. Kawan seperjuangan yang insyaalloh punya hobi agak mirip. Diantarnya mungkin, suka motor vespa, suka ngobrol ngaler ngidul dan mungkin juga suka jajan. "Kita ini berbeda tapi harus rukun selalu," kataku suatu hari pada mereka.

Hari ini, kalau tidak salah sekarang hari sabtu sebab aku pake baju putih abu sedangkan kawanku sebagian besar memakai baju pramuka, merekalah orang yang kusalutkan karena lebih menurut sama aturan negara. Sedangkan Fahri dan Ipang hobinya lebih menuruti apa yang aku lakukan, salah satunya yaitu ini, pake baju PSAS di hari sabtu. Bukan aku tidak punya baju pramuka hanya saja, aku tidak suka. Gerah, bahannya dari kain rapilo.

Kami keluar dari sekolah meski waktu seharusnya mungkin sekitar lima belas menit lagi.

Cara kami bisa keluar itu sih pake cara masing-masing. Caraku? Takkan aku beri tahu, nanti kalau dipakai contoh aku akan dituduh menyebarkan contoh jelek. Nanti aku dilaporin deh, terus ananti ada masa yang mendemo deh, Papa bisa dengar karena punya telinga, nanti aku dikurung lagi deh. Kan gak seru, jadi biar aku saja dan sekomplotan badung ini yang tahu. Ini rahasia negara, dilarang disebarluaskan.

Seperti yang kuperintahkan, sekarang kami sedang berkumpul di depan sekolah Gandhi. Kalau sudah begitu aku suka merasa akulah presiden dari kumpulan ini. Tujuan kami datang ke sini baik, untuk memberi pencerahan kepada otak dungu si Gandhi.

Kata informanku, si Gandhi kemarin malakin anak kelas satu dari sekolah kami. Uang memang bisa dicari lagi, atau ikhlaskan saja untuknsi Gandhi yang mingkin membutuhkan sekali. Tapi jika sampai anak kelas satu itu mengadu padaku dengan wajah dipenuhi lebam dan luka, selaku pelindung kami harus bergerak.

"Dan rokok?" Bara menawarkan sebatang rokok ke arahku.

Aku menatap rokoknya sambil menimbang-nimbang. Baru tadi aku habis satu batang, apa boleh merokok lagi? Ada sih keinginan untuk merokok lagi. Tapi tiba-tiba kepikiran ucapan Mia.

Dia tidak perferctionis dengan cara mendiktator, justru cara lembutnya setiap menasehatikulah yang akhirnya menempel diingatan.

"Sayang rokok itu berapa perbungkusnya?" tanyanya suatu hari. Kalau dia memanggil sayang berarti dia memang sayang sekaligus ada maksud lain.

"Macam-macam, kenapa gitu?" tanyaku.

"Aku lagi ngumpulin uang receh," katanya. Aku mengangguk dan mendengarkannya. "Tahu buat apa?"

Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Buat sawer pernikahan kita." Lantas aku tertawa. Sawer itu sesi pernikahan seperti melempar bunga, namun di bumi pasundan kebabyakan sawer pakai uang.
Dia lucu, entah berpikiran terlalu jauh atau terorganisir. Tapi aku mengaminkan, semoga saja aku memang ditakdirkan menikah dengannya.

"Kita mah jangan pake receh, uang nya seratus ribuan, biar senang para tamu," kataku.

"Boleh, ide bagus itu," katanya.

"Iya, tamu senang aku pun bangkrut hehe."

Lalu dia kembali bicara. "Nah, kamu bisa bantu aku kalau mau..."

"Caranya?" kutanya.

"Uang yang biasa pake rokok kamu dapet dari Mama?" tanyanya.

"Bukan, dari hasil kalau aku manggung, atau upah dari Ibu karena aku bantu-bantu sia di dapur."

"Tuh mending buat mahar, hehe. Rokokmu berkurang, kamu sehat, aku pun senang."

"Tuh gera kalah sura seuri, erek moal?" (Yah malah senyam-senyum, mau kagak?) kata Ipang.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now