Bandoeng 17

475 31 3
                                    

ºAPÈLº

Apa kau tahu? Dia bilang supaya aku terkesan, dia datang ke rumah sambil mengenakan kacamata hitam. Mirisnya pintu rumahku yang diketuknya malah dibuka oleh Omaku.
Oma tanya, "siapa?"

Karena melihat wajah Oma yang katanya kelihatan galak, ia pun bingung dan sedikit segan untuk bilang bahwa dia pacarku. Maka dia jawab, "tukang pijat."

"Mmm?"

"Katanya Oma sedang sakit, butuh tukang pijat."

"Siapa yang bilang? Ani?"

Ardan mengangguk. "Iya Ani, masa Roma."

"Maksudnya?" tanya Oma ku.

"Eh, nggak Oma."

"Kamu buta?" tanya Oma karena melihatnya memakai kacamata hitam.

"Nggak Oma, biar keren aja."

"Tapi saya gak butuh dipijat." Kata Ardan Oma saat itu menampilkan wajah tak percaya. Mungkin takut Ardan orang jahat yang sedang berpura-pura.

Supaya dia bisa masuk maka dia merajuk dan memohon agar Oma mau dipijat. Ketika dia mulai memijat kaki Oma di kursi aku keluar dari kamar dan menyaksikan pemandangan itu.

"Ardan?" tanyaku.

"Iya?" jawab Ardan sambil masih memijiti kaki Oma.

"Ngapain?" tanyaku lagi.

"Loh kamu kenal tukang pijatnya?" tanya Oma padaku.

Aku tertawa. Tapi bingung untuk menjelaskan. Pasalnya di keluargaku hanya Tante Ani yang tahu aku dan Ardan sudah resmi pacaran. "Dia Ardan..."

"Cemewew Oma," sahut Ardan.
"Eh, cemewew Mia."

Oma malah kebingungan dengan apa yang Ardan katakan.

"Ya ampun Oma, calon mantu diduruh mijit Haha." Kata Tante Ani yang baru pulang kerja.

Oma merengut, "maksudnya?"

"Dia pacarnya cucu Oma duh," kata Tante Ani.

Ardan menghehe kemudian Oma tertawa.
"Kenapa gak ngomong kalau mau apel?" Reaksi Oma ketika itu juga menjadi hal yang tak aku sangka.

"Sieun ku Oma, hehe."
(Takut sama Oma, hehe)
.
.
Sekarang dia duduk bersamaku di beranda rumah. Dia memainkan gitar dan sudah menyanyikan beberapa lagu yang lirik-liriknya dia ubah semaunya dan membuatku tertawa.

"Jalan-jalan yuk!" katanya.

"Yuk!"

Ardan menyimpan gitarku ke dalam rumah sembari pamit pada Tante Ani.

Aku menolak memakai helm meski Ardan memaksaku, alasannya dia sendiri juga tidak pakai. Akhirnya dia mengalah dan helmnya ia simpan begitu saja di teras.

Kami siap bermotor menyelusuri jalan.

Malam ini akan menjadi malam minggu teromantis dalam sejarah hidupku. Dengan angin malam dan suasana ramai kota kami membelah jalan menuju Braga. Kurekatkan jaketku ketika angin terasa makin kuat menerpa. Aku tak mau memeluknya, masih sedikit kesal dengan perdebatan helm tadi.

"Lagi apa Mia?" tanya Ardan tiba-tiba.

"Lagi kesel," jawabku dengan ketus.

Dia berdecak, "licik!"
"Kesel sendiri... kamu mah licik."
"Aku lagi kangen, kamu malah lagi kesel."
"Kapan aku keselnya?"
"Menghadapi kamu aku gak pernah kesel."

Aku cuma diam.

"Kapan ya alloh aku kesel? Aku pengen kesel kali-kali." Dia terdengar seperti mengeluh.

(From) BandoengWo Geschichten leben. Entdecke jetzt