Bandoeng 10

432 35 0
                                    

ºCEMBURU?? (2)º

Ketika bel tanda istirahat berbunyi aku segera bergegas ke perpustakaan untuk mengembalikan buku novel yang kupinjam.

Di perpustakaan ada Bu Sri yang sedang berjaga di mejanya. Sisi lain ada juga Pak Yayat yang entah sejak kapan sudah berada di sana sambil membaca suatu buku.

Aku segera kembali ke kelas untuk mengganti seragam putih abu dengan baju olahraga. Bel tanda masuk membuatku kehilangan kesempatan untuk pergi ke kantin. Untungnya ada Tuti, teman sekelasku yang menjual makanan. Yap, di sekolahku yang ini, murid diperbolehkan berjualan. Asalkan tidak mengganggu proses belajar mengajar.

Tuti menjual beberapa makanan olahan tradisional, seperti Cimol. (Cimol terbuat dari tepung berbahan singkong atau kanji, dibuat dengan bentuk bulat-bukat lalu digoreng). Ada juga Ulen, jajanan khas sunda yang terbuat dari bahan ketan atau beras pulut. Kemudian ada Onde, Dadar gulung, dan Balabala. Tapi aku tergiur oleh Balabala, jadi aku memutuskan untuk membelinya . (Balabala = gorengan yang terbuat dari adonan tepung terigu yang dicampur wortel, kol (kubis), dan bawang daun, kemudian digoreng dengan bentuk lempengan bulat).

Pak Deri datang setelah aku selesai memakan jajananku. Kami semua disuruh pergi ke lapangan. Bukan lapang yang berada di dalam area sekolah, akan tetapi lapangan luas di luar yang tak jauh dari sekolah. Anak perempuan membereskan terlebih dahulu barang-barang mereka yang tergeletak di meja. Sedangkan grup anak laki-laki yang tidak peduli akan hal itu sudah melesat terlebih dahulu. Mungkin kecuali Dayat yang baru saja pergi karena selesai dimarahi Pak Deri terlebih dahulu. Dia tidak membawa pakaian olahraga padahal ia tidak sedang sakit.

Materi kali ini adalah lari jarak jauh. Dalam pelajaran lari ini aku lemah. Aku suka olahraga tapi lebih suka jika materinya bola voli, basket, atau baseball. Aku kurang suka materi seperti senam, tes kebugaran jasamani apalagi lari.

Pak Deri memberi pengarahan. Kami disuruh berlari dua kali putaran menelusuri jalan. Bukan jalan raya yang ramai kendaraan tapi jalan di perkampungan. Jalan itu sering disebut jalan tikus dan digunakan sebagai alternatif oleh siswa-siswa yang takut kena tilang. Aku juga sering lewat sana ketika pergi ke sekolah menggunakan sepeda.

"Finish akhir di gerbang sekolah."

Aku sampai di garis finish dengan catatan waktu yang cukup panjang, nyaris setengah jam. Dadaku suka sakit jika ku paksakan terus berlari, jadi sesekali aku berjalan dan itu lah sebabnya aku menjadi penyandang juara dua urutan terakhir yang sampai di garis finish. Berbeda sekali dengan Raka--teman sekelasku yang hanya membutuhkan waktu sekitar enam menit.

Dengan tergopoh aju berjalan melewati gerbang sekolah. Kerongkonganku kering dan tubuhku yang basah dengan keringat terasa memanas.

Langkah kakiku terhenti ketika seseorang mengulurkan sebotol air. Kutegakan kepalaku dan kulihat senyuman Ardan mengembang di wajahnya.

"Buat... aku?" tanyaku dengan napas masih terengah-engah.

"Iya."

Aku meraihnya tapi dengan cepat Ardan kembali menariknya. Seketika aku memberengut menuduhnya sudah memepermainkan aku. Tapi dia malah tersenyum, dengan tangannya Ardan memberi perintah agar aku menunggu. Dia membukakan tutup botolnya kemudian kembali memberikannya padaku.
Segera kuterima dan kuteguk airnya.

"Hatur nuhun," kubilang sambil senyum.
(Terimakasih).

"Sami-sami," dia menyahut juga membalas senyumanku. (Sama-sama).

Ardan mengajak ke kantin tapi aku tidak bisa karena harus segera ganti baju. Berlari menghabiskan banyak waktu, jadi sisa istirahat sudah pasti sebentar lagi. Aku menyuruhnya pergi sendiri saja. Tapi Ardan malah menolak dan memilih membuntutiku ke kelas.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now