Bandoeng 23

364 27 6
                                    

ºUNTUKNYAº

Ardan PoV
😙

Aku seperti lelaki kurang normal, karena kini perasaanku mendominasi daripada logika.

Mungkin aku adalah lelaki bodoh, yang tahu bagaimana cara yang benar untuk menyelasaikan masalah tapi malah lebih memilih mendengarkan emosi.

Emosi membara lebih besar, tiap kali sekelebat bayangan bagian seragam Mia yang berhasil robek karena di tarik si bajingan.

Aku tipikal lelaki lebih suka dengan sesuatu yang simpel. Namun ada beberapa bagian yang menurutku memang harus agak rumit. Seperti hitam yang harus dibayar lagi dengan hitam, atau putih dengan putih lagi. Supaya Adil.

Aku tahu Mia tidak suka caraku ini. Tapi keinginanku menjaga dan memberinya kenyamanan lebih besar dari aturan apa pun yang ada di muka bumi.

Aku mendeskripsikan diri, bukan untuk membuatmu terkesan. Mungkin aku ingin kau membuka pikiran, membiarkan saja apa yang kulakukan tanpa caci dan komentar.

Tapi terserah kau mau anggap apa aku, dan apa penilaian kalian terhadapku. Aku sama sekali tidak peduli pada prinsip kalian yang berbeda denganku. Karena aku lebih senang membiarkan, itu bagiku sebagai bentuk toleransi.

Dan karena kurasa sekarang aku harus dan butuh memberikan peringatan pada Gio.

Sebab takkan adil rasanya jika Mia harus malu, sedang si brengsek Gio hanya akan menerima hukuman yang belum tentu ia dapat. Aku tahu bagaimana Pak Hasan memperlakukannya selama ini.

Kutarik keras pintu kelas XII IPA 4 yang tertutup rapat, sampai kedua daun pintu itu menghantam ke tembok di kedua sisinya, sehingga menimbulkan suara gedebak keras. Para penghuni kelas ada yang memekik dan mengumpat, tak terkecuali Bu Yani yang juga menjerit sambil beringsut lari ke sudut.

Aku masuk dengan langkah cepat. Menarik Gio dari kursinya dan menyeretnya keluar sampai ke lapangan. Kulempar dia ke lantai semen sampai jatuh dan dia meringis kesakitan. Sebelum ia bangkit aku segera menerjangnya dan melancarkan pukulan membabi buta.

Dia tipikal lelaki rumahan yang tak bisa melawan. Jadi yang dilakukan si pecundang ini hanya menyilangkan kedua tangannya untuk berlindung.

"Sia kudu apal saha aing!"
(Lo harus tahu siapa gua!) terus kujotos wajahnya tanpa ampun.

Dia berteriak meminta ampun, memancing teman-teman sekelasnya ikut keluar. Sebagian siswi menjerit ketakutan dan Bu Yani berteriak-teriak meminta pertolongan.

Setelah beberapa pukulan mampu membuat hidungnya berdarah, aku pun ditarik oleh dua orang guru laki-laki dan juga sahabatku Fahri. Mereka kewalahan menahanku yang terus meronta berusaha mencapai Gio.

Si brengsek beringsut lari kemudian berlindung dibalik punggung Ayahnya yang datang, alias Pak Hasan. Pak Hasan menarik Gio ke depannya kemudian menamparnya dengan keras.
"Kamu malu-maluin bapakmu sendiri!"

Aku menghela napas lalu berteriak lantang. "Ka kabèh awèwè nu aya di dieu, aing apal aing bar-bar, tapi si èta!" kutunjuk Gio, "cicing-cicing leuwih bangsat tibatan aing!" Maksud dari ucapanku adalah memperingati perempuan-perempuan di sini jika Gio diam-diam lebih brengsek dariku.

"Dan... Dan! Nggeus Dan,"  kata Fahri.

"Iya, sudah, sudah Ardan," Pak Yanto ikut menenangkan.

Tapi aku tetap meronta. Perasaan ingin mencabik-cabik wajah Gio begitu bergejolak.

"Dan! Mia di UKS!" teriakan Dea dari sebrang seketika berhasil menghentikan segala pergerakanku. Jantungku berdebar dan perutku melikit linu. Kurasakan perasaan takut datang menyerbuku.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now