Bandoeng 32

327 24 6
                                    

ºDewiº

Ardan Pov

Aku sedang berjongkok di lapangan yang berada di komplek dan alhamdulillah dilakukan sembari bernapas.

Lapang ini, cukup jauh, jika rumahku ada di blok A maka kami sedang berada di F. Sebenarnya kegiatanku bukan cuma sekedar bernapas dan berjongkok, aku juga sedang memerhatikan Arla yang riang gembira menimang kuda dalam pangkuannya sambil berceloteh.

Dirinya obat penawar, meski suka miris juga ketika dia menanyakan Teh Mia.

"Mmm... maaf." Lantas aku menengok ke belakang tepat ke suara perempaun yang menegurku.

"Iya?" jawabku. Aku berdiri lalu tercenung. "Dewi?" kutanya seperti tak percaya dengan apa yang kulihat.

"Loh? Ardan?"
"Hahaha kirain siapa," katanya. Kemudian dia melirik Arla. "Dia adek kamu yang bayi?" tanyanya menatap Arla seperti menara eifel tiba-tiba ada di komplek.

"Iya, aneh ya jadi gede."

"Hahaha iya," katanya.

"Ngapain kok ada di Bandung?" kutanya. Sebenarnya bebas sih mau Dewi ada di Pekanbaru atau ada di Bandung itu haknya. Cuma aneh saja kan katanya pindah dan menetap di sana, sedang dia di sini.

"Lagi liburan aja di rumah Tante," katanya lalu berjongkok di depan Arla. "Hai cantik..." sapanya.

Tapi Arla tidak dengar dan terus saja sibuk menimang-nimang kuda.

"Dia... sedikit pemalu dan istumewa," kataku.

Dewi tersenyum "kan dihabisin kakaknya yang malu-maluin, dan kamu gak istimewa, jadi dia yang istimewa." Aku tersenyum, lalu Dewi kembali berdiri menghadapaku. "Aku cariin dia, tahunya lagi sama kalian."

"Jadi? kuda itu punya kamu?" kutanya.

"Mmm?" Dewi terlihat bingung dengan ucapanku.
"Kuda? hihihi, itu mah kelinci meureun." Meureun kalau diindonesiakan mungkin jadi kali.

"Bentuknya kelinci tapi kunamai kuda," kataku.

Dewi tertawa, "namanya Dadan," katanya.

"Eh itu nama panggilan kecilku," kataku.

"Mmm, iya."
"Jadi ingat masa itu." Katanya sambil menerawang dan seolah mengenang.

"Masa yang mana?" kutanya.

"Masa yang bodoh," sahutnya.

"Masa bodoh!! Hahaha!"
"Jangan dikenang, bikin malu," kataku.

"Hahaha!" Dia ketawa riang sekali. Mungkin merasa hebat atas apa yang dia lakukan dulu.

"Ditolak Dewi itu malu sekali," kataku.

Apa yang kau pikirkan? Itu benar jika kalian menuduh aku pernah menyatakan perasan pada Dewi. Tapi dulu, waktu masih SMP. Waktu Dewi sebelum akhirnya jadian sama Rozi sahabatku sendiri hahaha.

"De! jangan jauh-jauh!" kataku ketika melihat Arla berlari ke tepi lapang. Arla pun berlari ke pos yang tak jauh dari situ, kemudian duduk di sana sambil memberi makan si Kuda oleh rumput, karena kalau pake wortel Arla gak punya uang.

Aku dan Dewi menyusul takutnya Arla dan si Kuda jatuh. Kami duduk di tembok pos ronda.

"Masih sama si Rozi Dew?" kutanya. Dewi menatapku lalu tersenyum geli, mungkin dia sedang berharap bahwa aku masih mengaguminya.

"Kasih tahu gak yah?"
"Bakal cemburu gak?" katanya.

"Udah biasa-biasa sejak dulu juga," kataku.

(From) BandoengWhere stories live. Discover now