86. Kemunculan Tan-siocia Berbaju Hitam

2.5K 55 0
                                    

Juga Lam-koay marah karena mendengar jawaban Tek Cin tadi. Ia tertawa dingin, "Kamu ke sembilan partai itu adalah partai-partai yang tergolong Ceng-pay (aliran putih) biasanya menjunjung keperwiraan. Tetapi mengapa bertindak demikian nyata? Jelas pedang itu engkau rampas, tetapi mengapa tak berani mengaku?"

Dampratan tajam itu membuat muka Tek Cin merah padam. Dia pun marah, "Aku mempunyai kemampuan untuk merampasnya. Mengapa aku harus malu?"

Pak-koay tertawa nyaring, "Shin-loji, aku tak tahan melihatnya ......" Sekonyong-konyong ia menerjang Tek Cin.

Sebagai tokoh angkatan tua dari Kong-tong-pay, sudah tentu Tek Cin mempunyai pengalaman yang luas di dunia persilatan. Waktu menjawab tadi, diapun sudah menduga kemungkinan kedua lokoay itu akan menyerangnya. Maka diam-diam ia sudah berjaga-jaga.

Begitu Pak-koay menerjang, iapun cepat menyambut dengan tabasan pedang.

Pek-kau-kiam memang benar-benar pedang pusaka yang tiada tara tajamnya. Sekalipun berhati angkuh, tetapi Pak-koay tak berani juga menangkis.

Ia tutukkan dua buah jari kanan. Serangkum angin kuat menahan laju pedang dan serempak dengan itu ia ulurkan tangan kiri untuk mencengkeram siku lengan Tek Cin.

Tek Cin terkejut dan loncat mundur. Dengan gunakan cara apa saja, ia merasa tidak sanggup menangkis serangan lawan yang luar biasa anehnya itu.

"Hm, cobalah rasakan bagaimana rasanya pukulan Hian-peng-ciang ku ini!" Pak-koay mendengus dan tamparkan tangan kanan.

Disaksikan oleh sekian banyak tokoh-tokoh, mau tidak mau Tek Cin harus menangkis. Ia pindahkan pedang ketangan kiri dan menyongsong dengan tangan kanan.

Terdengar letupan macam api terbenam di air. Angin keras bergolak-golak. Beberapa orang yang berada didekat situ, menggigil kedinginan.

Tek Cin mundur lagi dua langkah lalu menyerang dengan jurus Tiang-bong keng-thian atau pelangi melintas langit.

Kiranya dalam adu tenaga pukulan tadi, ia merasa kalah sakti. Ia harus menggunakan kesempurnaannya dalam ilmu pedang untuk menghadapi lawan.

Lima jurus yang dilancarkan berturut-turut oleh jago Kong-tong-pay itu segera menimbulkan sinar pedang yang bergulung-gulung laksana bianglala.

Pertempuran itu merupakan pertempuran yang menentukan mati hidupnya. Maka sekali serang, ia pun keluarkan ilmu pedang istimewa dari Kong-tong-pay yang disebut Thian-kan sa-cap lak-kiam atau tiga puluh enam pedang Mayapada. Sinar pedang bagaikan arus sungai bengawan yang meluncur deras ......

Walaupun Kong-tong-pay itu termasuk empat besar dari partai persilatan yang termasyhur ilmu pedangnya, tetapi ilmu pedang partai itu merupakan suatu aliran tersendiri.

Sehingga ketika menyaksikan permainan pedang dari jago tua Kong-tong-pay itu, Thian Ce totiang dari partai Kun-lun-pay dan Ceng Hun totiang ketua Ceng-sia-pay, dua tokoh pedang yang termasyhur mau tak mau termangu heran juga. Diam-diam kedua tokoh itu memperhatikan gerakan pedang Tek Cin.

Tetapi tubuh Pak-koay seperti bayangan yang berlincahan dalam sinar bianglala. Tokoh itu gunakan pukulan dan tutukan jari untuk menghalau serangan pedang.

Sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba Pak-koay tertawa memanjang lalu berseru lantang, "Ah, tangan, tangan, mengapa engkau harus berlumuran darah lagi walaupun hati rindu akan kebaikan budi?"

Ia menutup ucapannya dengan sebuah hantaman yang dahsyat. Sesaat lingkaran pedang terpecah, tiba-tiba ia melambung sampai tiga tombak tingginya, kemudian berjumpalitan dan dengan kepala dibawah, ia menukik turun menyerang lawan.

Tek Cin cepat menyongsongkan dengan ujung pedang dalam jurus Ya-hwa-Soh-thian atau Api ganas membakar langit.

Tetapi tiba-tiba Pak-koay lepaskan dua buah pukulan dahsyat. Lantai bertebaran keempat penjuru dan dengan meminjam tenaga pukulan itu ia bergeliat melambung keatas lagi. Berjumpalitan lain menendang lengan kanan lawan.

Wanita IblisWhere stories live. Discover now