62. Ciu Hui-ing Sumoay . . . . .???!!

2.5K 60 0
                                    

Tiba-tiba Siu-lam hentikan langkah. Di sekelilingnya gelap dan hujanpun mulai reda. Kiranya dia berada dalam sebuah hutan.

Sambil mengibas-kibaskan air pada bajunya, ia tertawa sendiri: "Huh, benar-benar aku seperti gila? Masakan lari pontang-panting menerjang hujan tanpa suatu tujuan!"

Tak tahu ia sampai di mana saat itu. Tiba-tiba kilat melintas dan tampak jauh dari situ sebuah tembok merah.

Serentak ia teringat akan pengalamannya dahulu sewaktu pertama kali ia datang ke gereja Siau-lim-si, ia disambut paderi Ti-khek-ceng (penyambut tetamu) dan dimasukkan dalam kamar akan ditangkap. Ah, tak salah lagi. Tempat itulah dahulu ia mengalami peristiwa penangkapan itu.

Saat itu pikiran Siu-lam sudah sadar. Ia teringat akan peristiwa yang dideritanya akibat perbuatan gila-gilaan dari kedua Lam-koay dan Pak-koay yang adu lwekang dengan meminjam tempat di tubuhnya. Untunglah akibat penderitaan itu, ia malah mendapat keuntungan yang belum pernah ia impikan.

Memang ia merasa, tubuhnya sekarang jauh lebih lincah dan ringan dari sebelum peristiwa itu. Ia memperhitungkan saat itu masih ada kesempatan beberapa jam lagi dari tengah malam. Mumpung tiada orang, ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaiannya sekarang.

Segera ia menghampiri ke arah tembok merah itu. Langkahnya kini lebih tenang. Ternyata di tengah hutan situ terdapat sebuah rumah pondok yang menyendiri. Pintu pondok itu tertutup rapat. Siu-lam sudah basah kuyup.

Ketika ia hendak mengetuk pintu pondok itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari dalam pondok. Suaranya perlahan sekali.

Pada saat hujan seperti detik itu, memang suara itu hampir tidak kedengaran. Tetapi berkat telinga Siu-lam makin tajam, ia dapat menangkapnya.

Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan mendengari dengan seksama. Terdengar suara yang amat perlahan itu berkata: "Saat ini lebih baik jangan menemuinya. Nanti apabila keributan ini sudah selesai, kiranya belum terlambat untuk menjumpainya!"

"Tetapi rasanya aku tak dapat menunggu lagi," kata sebuah suara anak perempuan, "Hendak kutanya secara baik-baik, mengapa dia bertindak melupakan budi. Ketika ayahku masih hidup, ayah sayang sekali padanya, demikian pun perlakuanku padanya..." sampai di sini suara anak perempuan itu seperti tercengkeram oleh isak tangis.

Siu-lam terkejut. Walaupun perlahan, tetapi ia tak asing lagi dengan suara itu. Seketika gemetarlah tubuhnya dan kepalanyapun terantuk pada pintu pondok.

Suara isak tangis anak perempuan itu berhenti sejenak.

Baru Siu-lam hendak berdiri tegak, tiba-tiba pintu terbuka lebar dan sebatang pedang yang berkilauan segera menusuk....

Serangan itu datangnya cepat sekali.

Siu-lam tak sempat bicara apa-apa kecuali harus menghindar ke samping. Dan berteriak suara anak perempuan tadi dengan nada terkejut: "Dialah...."

Atas teriakan itu, serangan pedang ditarik kembali. Menyusul terdengar sebuah nada yang dingin: "Apakah dia suhengmu yang tak kenal budi itu?"

Dari dalam ruangan terdengar pula suara yang lambat: "Cici, jangan kasih dia masuk...."

Sejak mengalami berbagai peristiwa, perangai Siu-lam bertambah tenang. Dengan menekan getaran hatinya, ia melangkah ke ambang pintu dan memberi hormat: "Apakah sumoay masih hidup?"

Terdengar penyahutan yang murka: "Jadi engkau mengharapkan agar aku mati? Hm, anggaplah aku sudah mati saja!"

Siu-lam terlongong-longong. Ia menyadari kata-katanya tadi memang tak layak.

Buru-buru ia meminta maaf: "Sumoay, harap jangan salah mengerti. Sama sekali aku tak bermaksud begitu!" Sambil berkata, ia melangkah masuk.

"Cici, lekas usir dia keluar! Jangan kasih dia masuk kemari. Aku tak sudi melihatnya!" teriak gadis itu.

Wanita IblisWhere stories live. Discover now