16. Perjuangan Percuma Untuk Sumoay

3.7K 78 1
                                    

Ketika Siu-lam memandang ke dalam gua ternyata di atas sebuah ranjang batu, sebuah tengkorak duduk bersandar di dinding. Kecuali rambutnya yang panjang yang masih melekat di batok kepala, boleh dikata daging tubuhnya sudah tak ada lagi, tinggal tulang kerangka.

Kejut Siu-lam bukan alang-kepalang: "Ing sumoay! Ing sumoay....!" Teriaknya.

Hian-song lepaskan diri dari pelukan Siu-lam. Bersandar di dinding, ia memandang tak berkesiap kepada pemuda itu.

Siu-lam segera menghampiri pada tulang kerangka. Sejenak memeriksa, ia menjerit keras dan terhuyung-huyung rubuh di atas tanah.

Hian-song kaget mendengar jeritan pemuda itu. Betapapun ia tetap seorang anak perempuan. Dalam tempat yang seseram itu, mau tak mau ia gemetar juga. Beberapa saat kemudian setelah tenang, ia menghampiri Siu-lam dan mengangkatnya bangun.

Tampak pemuda itu mencucurkan air mata. Iba juga hati dara itu melihat keadaan Siu-lam. Sambil mengusap air mata pemuda itu, Hian-song menghiburnya: "Pui suheng, apakah kau berduka?" Selama hidup, ia tak pernah menghibur orang tetapi dihibur. Maka tak dapat ia merangkai kata-kata yang tepat.

Siu-lam menghela napas panjang. Air matanya membanjir, ujarnya: "Sumoay mati...."

Berpaling ke samping, Hian-song melihat di ujung ruang goha, terbaring sesosok tubuh yang memakai pakaian wanita, rambutnya kusut masai, tubuhnya kaku. Mungkin sudah mati beberapa waktu. Dari perawakan dan pakaiannya, umurnya tentu masih muda.

Tiba-tiba Siu-lam berbangkit. Ia masih mengharap agar mayat itu bukanlah sumoaynya. Buru-buru ia menghampiri. Disibakkan rambut mayat itu dan mengangkatnya agar dapat mengraut wajahnya. "Ah...." tiba-tiba Siu-lam mengeluh kaget. Wajah mayat itu tak dapat dikenali lagi karena hancur lebur tak karuan akibat dicakari jari tangan!

Siu-lam termangu. Tiba-tiba ia berpaling memandang kerangka yang duduk di atas batu. Dampratnya: "Hei, perempuan siluman. Perjanjian belum kelewat batas waktunya. Mengapa kau ingkar janji membunuh sumoayku?!"

Setelah memaki habis-habisan, ia tendang kaki mayat itu. Pyur, tulang belulang bagian kaki mayat itu berhamburan ke empat penjuru. Namun rupanya Siu-lam masih belum puas hati. Ia menghantam juga bagian badan mayat itu. Tulang tubuh dan kepala mayat itu berhamburan membentur dinding jatuh berserakan ke tanah.

"Tring...." tiba-tiba terdengar dering macam bunyi logam saling membentur. Siu-lam memandang ke arah bunyi itu. Ada suatu benda berkilau-kilauan seperti emas masih melekat pada dinding.

"Ah, belum tentu kalau mayat itu sumoaymu!" tiba-tiba Hian-song menyeletuk.

Sahut Siu-lam: "Goha ini terletak di perut gunung yang sukar diketahui orang. Tak mungkin orang luar masuk kemari. Siapa lagi kalau bukan tindakan wanita ganas itu. Tahu bahwa lukanya tak bakal sembuh, sebelum mati ia membunuh sumoayku lebih dulu."

"Ah, masakan di dunia tiada orang tahu rahasia goha ini," bantah Hian-song.

"Sudah hampir tiga puluh musim dingin, wanita itu mengeram di sini dalam keadaan luka parah, lumpuh tak dapat berjalan. Umurnyapun sudah lebih dari enam puluh tahun. Dan mayat itu jelas mayat seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan sumoayku?"

"Apakah kau masih ingat baju warna apa yang dipakai sumoaymu tempo hari?"

"Bajunya warna biru!"

"Benar?" Hian-song menegas. Ia tahu jelas bahwa pakaian yang dipakai mayat itu memang berwarna hijau atau biru. Ia anjurkan supaya Siu-lam mengangkat mayat itu keluar agar dapat dikenali lebih jelas.

Siu-lam menurut. Diangkatnya mayat itu dan diletakkan di muka pintu goha. Ketika mengamat-amati warna pakaiannya, ia menjerit. "Orang yang sudah mati takkan hidup kembali. Apa gunanya kita tangisi? Bukankah suheng pernah menasihati aku begitu..." Hian-song menghampiri seraya berseru perlahan-lahan.

Wanita IblisWhere stories live. Discover now