68. Siapa Beng-gak Gak-cu . . . . .???

2.6K 56 1
                                    

Ketua Beng-gak itu tertawa dingin: "Segala ucapanku, tak pernah orang berani membentak. Jika kau berani, cobalah saja. Tapi jangan kau menyesal nanti. Karena sekalipun kau akan memberitahukan, tetap sudah terlambat...."

Siu-lam tertawa: "Aku paling-paling hanya mati? Apakah yang harus kutakutkan?"

Wajah wanita baju kuning tiba-tiba menampilkan kemarahan: "Engkau kepingin mati? Ah, jangan harap engkau dapat menikmati kematianmu dengan enak!"

Sejenak Siu-lam merenung, lalu katanya: "Kupercaya, bengcu tentu dapat membuat diriku mati tidak, hidup pun tidak! Tetapi harap bengcu menyadari, bahwa aku tak suka dan tak mau tunduk di bawah ancamanmu! Karena kenal akan jurus permainan pedangku tadi, bengcu pasti mengetahui sumbernya. Jika bengcu ingin mengetahui siapa yang mengajarkan ilmu pedang itu padaku, aku pun mengharap bengcu meluluskan beberapa pertanyaanku.

Tetapi pertempuran malam ini bagaimanapun juga, harus dilangsungkan sampai ada yang menang dan kalah. Karena bengcu tak mengungkat hal itu, kamipun terpaksa akan bertempur sampai mati. Namun kalah menang itu bukanlah kekuasaan manusia. Harap bengcu suka merenungkan ucapanku ini. Dan ketahuilah, bahwa ancaman bengcu itu, tak mungkin akan membuat hatiku menyerah!"

Wanita baju kuning itu menganggukkan kepalanya: "Di antara angkatan anak muda, belum pernah ada yang berani bicara padaku seperti kau. Walaupun kata-katamu itu sudah harus mendapat hukuman, tetapi kata-katamu itu cukup beralasan!"

Tampaknya wanita itu berumur dua puluhan tahun lebih. Tetapi nadanya yang begitu angkuh, tak sesuai dengan umurnya.

"Kalau begitu, bengcu meluluskan?" tanya Siu-lam.

Sejenak wanita baju kuning memandang ke sekeliling, kemudian berkata: "Semua orang yang berada di sini tak mungkin hidup lagi sampai jam tiga malam ini. Biarlah mereka mendengarkan keteranganmu!"

Siu-lam tersenyum, ujarnya: "Yang kumainkan tadi adalah jurus Jiau-toh-coa-hoa. Tentulah bengcu paham juga bahwa jurus itu merupakan jurus untuk menundukkan musuh. Tetapi rasanya bengcu tentu lebih paham dan tahu di mana kekurangan-kekurangan permainanku tadi!"

"Benar!" sahut wanita baju kuning itu, "memang yang engkau mainkan itu jurus Jiau-toh-co-hoa. Di samping masih banyak gerak perubahannya yang engkau kurang mahir, juga jurus itu masih ada kelanjutannya yang kaya dengan gerak perubahan indah!"

"Entah dari manakah asalnya ilmu pedang itu?" tanya Siu-lam.

Wanita baju kuning tertawa dingin: "Ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang nomor wahid dalam jaman ini. Sudah tentu tidak sembarangan orang dapat beruntung mendapatkannya!"

Diam-diam Siu-lam membatin: "Jika jurus itu bukan berasal dari partai persilatan yang manapun juga, tentu berasal dari seorang sakti yang menciptakannya sendiri."

Wanita baju kuning itu berkata pula: "Pada masa sekarang, kecuali aku, seharusnya tak ada orang lain lagi yang mampu memainkan ilmu pedang itu. Entah dari mana engkau memperoleh pelajaran itu?"

Teringat akan kakek Tan yang telah terkubur dalam tanah salju, hatinya berduka. Menengadah ke atas, ia menghembuskan napas: "Seorang kakek she Tan tetapi entah siapa namanya..."

"Mengapa tidak menanyakan?" tegur si wanita baju kuning.

"Kakek itu keras kepala sekali. Apa yang tak dikatakan, percuma saja hendak menanyakan. Tetapi kalau dia hendak menyuruh dan kau berani membantah, celakalah engkau!" kata Siu-lam.

"Tetapi engkau tentu masih ingat rupanya, bukan?"

Siu-lam menghela napas perlahan, ujarnya: "Dia seorang kakek yang menderita. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka dan tak dapat diobati lagi. Seorang tua yang sudah lanjut usianya dan dirundung sakit, tentu menimbulkan kesan bahwa setiap saat dia dapat meninggal dunia.

Wanita IblisDonde viven las historias. Descúbrelo ahora