1. Peti Mati Suhu dan Subo

44.3K 580 13
                                    

KRIITT...... Pemuda baju biru itu terkejut ketika pintu rumah gurunya, sekali dorong terbuka sendiri. Dan kejutnya itu segera diselimuti rasa heran ketika didapatinya ruangan sunyi senyap.

Ia meragu beberapa saat lalu melangkah masuk. Setelah melalui ruang depan, ia menuju ke ruang besar. Ada suatu firasat aneh melekat di benaknya. Tentunya terjadi sesuatu dalam rumah gurunya itu.

Saat itu malam hari. Ruangan besar gelap gulita. Tiada sepelik penerangan sama sekali. Sedemikian gelap sehingga ia tak dapat melihat jari tangannya sendiri. Desir angin malam, menambah keseraman suasana saat itu. Walaupun pemuda itu berilmu silat tinggi, namun mau tak mau ia merasa ngeri juga. Tanpa disadari, tangannya meraba batang pedang yang terselip di pinggangnya.

Berkat ilmu silatnya, matanya tajam sekali, dapat melihat dalam kegelapan. Ketika menajamkan pandangan menembus kegelapan, segera ia dapat melihat jelas segala benda di dalam ruangan. Di ujung dinding terdapat sebuah meja segi delapan dan empat buah kursi yang teratur rapi. Perabot-perabot ruangan terletak di tempat yang sesuai.

Pemuda itu tiba-tiba lari menuju ke ruang belakang. Tiba di sebuah bilik yang pintunya tertutup. Ia tertegun. Tetapi pada lain saat cepat ia mendorong pintu. Pada saat tangan hendak menyentuh daun pintu, tiba-tiba ia menariknya kembali.

Bilik itu adalah ruang semedi gurunya. Ia tahu tak boleh sembarang orang memasukinya. Ia takut dimarahi gurunya. 

Sebagai gantinya ia berbatuk-batuk dan dengan nada yang sangat hormat, segera ia berseru: "Murid Pui Siu-lam, mohon berkunjung...."

Nyaring sekali ucapannya. Ruang seolah-olah terdengar oleh kumandang suaranya. Tetapi melas! Tiada penyahutan sama sekali....

Saat itu dalam musim salju. Ketika angin malam meniup, gumpalan salju yang menumbuk di atas payon, bilik semedi, berhamburan menabur ke muka si pemuda.

Siu-lam atau pemuda baju biru segera bersiap-siap hendak mendobrak pintu tetapi pada lain kilas terbayanglah ia akan wajah gurunya yang angker. Kembali ia batalkan niatnya dan terus ayunkan tubuh loncat ke pagar tembok.

Di atas pagar tembok, sejenak ia lepaskan pandangannya ke sekeliling penjuru. Dua pohon bwe masih tumbuh di halaman kebun. Berselimutkan salju putih pohon itu makin menghamburkan bunga-bunga harum semerbak. Sekilas terbayanglah Siu-lam akan kenangan pada belasan tahun yang lalu....

Pada masa itu bersama Hui-ing, putri gurunya, masih kanak-kanak yang berumur delapan atau sembilan tahun. Bermain bersama belajar silat bersama, sama-sama membagi suka dan duka. Keduanya tak ubah seperti kakak dan adik.

Tetapi sang waktu berjalan laksana anak panah. Tak terasa kini berselang belasan tahun. Ketika meninggalkan rumah gurunya, Siu-lam dan sumoay itu Hui-ing sudah dewasa. Dan kini ia sudah bertahun-tahun ia berpisah. 

Dari tempat jauh sengaja datang ke telaga Ping-ou. Tujuannya tak lain tak bukan hanya menjenguk keselamatan gurunya dan sekalian untuk bertemu dengan Hui-ing....

Setelah puas merenung, barulah Siu-lam loncat turun. Perlahan-lahan ia melangkah ke bilik gurunya berlatih ilmu lwekang. Dalam pembayangannya, apabila rumah tangga gurunya itu menderita ancaman bahaya tentulah guru dan ibu gurunya membawa putrinya (Hui-ing) pindah ke lain tempat yang aman.

Tiba di muka pintu, segera ia mendorong pintunya. Kritt... pintu terentang lebar-lebar dan hai...! Seketika mendeliklah mata pemuda itu. Rambutnya berdiri tegak dan mulut menganga tak dapat berkata apa-apa. 

Apa yang disaksikan dalam bilik ruangan itu, benar-benar membuatnya terlongong-longong seperti patung. Ruang bilik kosong melompong. Yang ada hanya... sepasang peti mati berjajar berdampingan...!

Wanita IblisWhere stories live. Discover now