Welcome to Asrama Batalyon TNI AD

41.7K 1.5K 105
                                    

April 2013

Menikah dengan seorang prajurit sama sekali bukanlah impianku. Aku tidak tahu kalau pria yang melamarku pada saat itu adalah seorang prajurit negara yang bertugas di pedalaman Papua yang sangat sering terjadi perang suku, juga berlokasi sangat jauh dari keluargaku.

Tapi itulah jodoh, manusia tak ada yang mengerti dengan rencana Sang Ilahi.

"Yang, nanti disana harus banyak sabar ya!" mas Aji membuka obrolan pagi ini.

"Lho emangnya kenapa?" balasku.

"Karena disana banyak kendalanya. Nanti kalo mencuci baju harus di sungai, trus mandi juga di sungai. Kalo mau masak dan cuci piring juga harus ngangkat air dari sungai, tapi bisa juga tadah air kalo pas lagi hujan," jelasnya panjang lebar tentang lokasi asrama yang nanti akan kami tempati.

"Astaga!!! Kenapa kok ngenes gitu kondisinya disana? Emangnya disana gak ada bantuan dari pemerintah untuk fasilitas perumahannya sampe harus susah payah untuk dapat air? Bisa-bisa kurus mendadak nich!" batinku berkecamuk. Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasan suamiku.

"Nanti kalo mas satgas, adek jangan cengeng ya. Harus bisa mandiri, sama tetangga harus rukun karena disana cuma tetangga yang jadi keluarga kita," tambahnya lagi.

"Trus jangan keseringan ke kota ya, kejauhan. Kalo mau belanja bulanan bisa di warung depan atau koperasi aja ya sayang. Ingat, disini daerah rawan. Tempat yang paling aman ya di rumah,"

Aku hanya tertunduk merenungkan ucapannya barusan. Sebegitu ngeri-kah kehidupan bersamamu disana mas? Bagaimana kalau nanti aku hamil tapi kau tidak disampingku? Bagaimana kalau nanti aku sakit? Bagaimana nanti kalau aku bosan di rumah sedangkan kau sedang bertugas jauh dariku? Rasanya ingin menangis saja memikirkannya.

Sebulan setelah menikah, aku langsung diboyong ke tempat tugasnya. Salah satu kabupaten di propinsi Papua, kota kecil yang banyak perantaunya karena daerah tersebut merupakan salah satu wilayah pertambangan terbesar di dunia, ya kota Timika.

Jujur saja kami mengawali pernikahan ini dari nol. Semua dana terkuras habis untuk pernikahan dan honeymoon singkat kami, juga sebagian untuk akomodasi perjalanan yang tidak murah dari Malang, kota kelahirannya menuju Timika.

Paling tidak ya harus bisa menyiapkan dana sekitar 6 juta untuk berdua. Harga yang sama untuk perjalanan keluar negeri, bukan!? Padahal Papua masih wilayah Indonesia.

"Tidak papa ya sayang kalau kita awali semuanya dari nol. Mulai sekarang kita belajar mandiri, walau uang habis di kantong insha Allah rejeki lain menunggu di depan sana," ucap mas Aji menyemangatiku di perjalanan kami. Aku hanya tersenyum mengangguk padanya.

Aku sangat mencintainya. Entah apa alasannya. Dan bagaimanapun kondisi kami sekarang, tapi pernikahan ini yang sangat kami impikan sejak lama.

Karena untuk menikah dengan seorang prajurit butuh penantian juga perjuangan yang panjang. Dari mengurus administrasi nikah di kantornya, surat keterangan orangtua, lurah sampai pihak KUA tempatku tinggal, juga serangkaian persyaratan lainnya yang cukup menguras waktu, tenaga juga pikiran.

Tak ada yang mudah untuk mencapai kebahagiaan. Itu yang selalu kutanamkan untuk menyemangati diri sendiri.

Setiba di bandara Mozes Kilangin Timika, kami dijemput oleh beberapa pria yang berpakaian serba loreng dengan sebuah mobil dinas berwarna hijau tua, ciri khas prajurit TNI-AD. Sekitar 40 menit perjalanan menuju bataliyon, jarak yang lumayan jauh dari area perkotaan yang ramai.

Catatan Hati Seorang Istri PrajuritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang