Extra Chapter 13(a)

993 104 14
                                    

Mobil rasanya bergerak lambat sekali. Pandangan mulai sedikit berbayang. Efek jetlag baru terasa sekarang, gue benar-benar pusing dan mual. Untunglah dengan setia Pak Iman datang menjemput gue di bandara. Gue berangkat dari Lombok jam 8 pagi dan sampai jam 9 pagi di soekarno hatta. Semua kegiatan dipadatkan kemarin dari mulai Grand Opening Resort sampai menghadiri event amal yang diselenggarakan dari kantor di desa Malaka sekitar tiga kilometer dari Pantai Malimbu.

Dua minggu yang lalu gue berkunjung ke rumah papa. Trip ke Turki terpaksa di cancel atas permintaan Syazani. Awalnya gue menolak dan menyarankan untuk ditunda begitupun papa, namun Syazani berpendapat lain untuk tidak melanjutkannya dalam waktu dekat. Gak mau membuat suasana menjadi runyam gue hanya mengiyakan lagipula itu bisa dilakukan jika kami memiliki waktu yang benar-benar tepat. Sementara tiket pesawat hangus begitu saja, hotel dan tour guide tetap terpakai oleh Alana sebagai gantinya. Gue bernegosiasi dengan papa agar mengizinkan Alana memakai hotel dan tour guide yang udah gue booking sembari ia mencari apartemen untuk melanjutkan pendidikannya di Turki. Namun pada akhirnya Alana tetap memilih melanjutkan di negeri matahari terbit. Dan berangkat ke Turki dua minggu lalu hanya untuk liburan.

“Kamu gak mau lanjut di Indonesia aja biar nemenin papa?”

“Iya sih Bang, aku juga berat mau ninggalin papa tapi gimana lagi. Kalau nggak papa ikut aku aja tinggal di sana gimana?”

Gue saling beradu pandang dengan papa sebelum akhirnya papa tertawa.

“Udah kalian gak usah terlalu khawatir. Papa belum setua itu sampai harus ditemani kemana-mana. Kamu juga Al kejar mimpi kamu, tuntutlah ilmu walaupun harus sampai ke ujung dunia. Jangan takut ketika kamu sedang berjalan menempuh pendidikkan insyaallah Allah mempermudah jalanmu.” Papa menepuk pundak Alana. “Dan kamu El, dengan kalian sering berkunjung ke rumah papa aja udah lebih dari cukup. Kalau kalian terus-terusan mengkhawatirkan papa malah bikin papa ngerasa gak nyaman. Papa lebih suka kayak gini, bebas mau pergi kemana pun. Masih bisa ketemu teman-teman papa.”

Seperti itulah papa, tak ada yang berubah sejak dulu. Pikiran gue yang terlalu berlebihan menilai papa begitu buruk tanpa mencari kebenarannya lebih dulu. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan di masa lalunya begitupun papa. Gue terlalu denial untuk mengakui kebaikan papa. Dan sekarang kehadiran Syazani membawa pengaruh besar bagi keluarga gue. Perlahan Syazani menjembatani kedekatan antara gue dan papa juga Alana.

Penjelasan papa membuat gue lega. Gue sendiri sebenarnya tidak tega meninggalkan papa sendirian, tetapi papa selalu menolak ajakan gue maupun Syazani. Tidak ada cara lain selain mengunjungi rumah papa hampir seminggu tiga kali bahkan kadang lebih sering. Papa itu paling tidak suka menghabiskan waktunya di rumah saja tanpa beraktivitas. Setelah memutuskan berhenti dari kantor papa lebih sering melakukan kegiatan sosialnya.

“Pa, berita ini benar?” Tanya gue. Semalam gue membaca headline dari salah satu media sosial yang menyatakkan papa membeli sekitar 6000 meter di wilayah Jambi.

Tangan papa terulur mengambil ponsel gue, setelahnya tersenyum tenang. “Iya.”

“Buat apa lagi pa?” Tanya gue kompak dengan Alana.

Insyaallah papa ingin mendirikan rumah tahfidz gratis di sana.”

Bangga rasanya. Di saat gue sibuk mencari kesalahan papa yang telah meninggalkan gue juga Bunda, berbeda dengan papa yang justru sibuk memperbanyak bekal menuju akhirat dan terus memperbaiki diri atas masa lalu yang ia perbuat. Papa pernah bilang saat kami bisa kembali bicara selayaknya ayah dan anak, “kita gak akan tahu letak kesalahan kita dimana kalau tak mendapati orang yang membenci kita. Tapi sebagai makhluk pendosa kita juga jangan sampai menunggu orang lain benci dulu baru mau memperbaiki diri.”

Teras Kota (Overheard Beauty)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora