Teras 26

1.3K 174 12
                                    

Perkara Hunian

Maunya tinggal di tempat elit tapi nabung sulit.
____________



Aku bersandar pada tembok dekat pintu menuju basemen. Lobi masih terasa ramai oleh orang-orang yang masih sibuk bekerja hingga larut malam. Dengan terpaksa aku menunda jam pulang untuk memenuhi permintaan Yang Mulia Adnan El-Fatih. Mereka yang lewat di depan kami berusaha ramah menyapa si bos, namun sayangnya yang disapa sama sekali tidak menanggapi. Manusia satu ini hanya sibuk bermain ponsel. Rasanya ingin sekali kulempar handphonenya keluar hingga hancur berkeping-keping.

Sebelumnya aku berniat untuk pulang dan juga sudah berusaha untuk menghindarinya, namun niatku menghindar gagal karena manusia ini sudah menunggu di pos security. Musnah sudah rencana kaburku pemirsa. Jika aku harus balik lagi ke ruangan, manusia bernama Reynan pasti ia akan mencecarku dengan pertanyaan dan kecurigaan. Jadi mau tidak mau suka tidak suka terpaksa aku pun berhenti dan mengikuti El.

“Pak, apa lagi sih yang mau dibicarakan?” tanyaku kesal sambil melipat tangan di dada. Karena sejak tadi El hanya bermain ponsel.

“Sebentar ya...” jawabnya enteng masih fokus dengan ponselnya.

Aku berdecak sebal. Oh... perlukah aku membenturkan kepalanya atau menyiram kepalanya untuk yang ke sekian kali?! “Saya mau pulang, ini sudah jam sembilan lewat.” Demoku. Sebelum berbicara dengannya aku sempat melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit. Hampir setengah sepuluh malam. Akankah ini menjadi rekor yang kedua kali kategori pulang malam bagiku?

Dan semuanya gara-gara...

El.

“Iya. Oke. Sorry...” El memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja, sebelum melanjutkan kata-katanya. “Boleh saya mulai?” El menanyakan itu dengan nada suara rendah.

Aku hanya mengangguk sekilas. Sudah tak ingin menanggapi.

“Pekan ini saya akan tetap datang ke rumah ibumu.”

Mataku melotot, seperti api disiram bensin. Kata-katanya membuat kepalaku berasap seketika. “Gak bisa gitu dong!” protesku cepat.

“Why?” tanyanya terdengar seperti mengejek.

Aku menghela napas dalam-dalam mencoba memberi ruang untuk mendapatkan oksigen lebih banyak agar aku bisa berpikir dengan baik. “Ada yang mau saya tanyakan,-”

Sure, tanyakan saja.”

Baiklah bendera perang sudah berkibar. Siapkan strategi terbaik, dan jangan lupa kerahkan semua energi positif untuk melawannya. “Saya mau tanya, tujuan anda datang menemui ibu saya untuk apa?”

“Ya untuk meminta restu untuk apa lagi?” jawabannya sangatlah santai.

“Restu apa?” aku mengernyitkan dahi.

“Menikahlah, gimana sih kamu?!” Cicitnya masih santai.

Aku kembali menghela napas. Pertanyaan kali ini seharusnya membuat dia sadar. “Siapa yang mau menikah?”

“Ya kitalah, kamu pikun?” jelasnya dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Aku tertawa sumbang, menertawakan rasa percaya diri manusia di depanku. Rasanya tidak habis pikir, dia bisa langsung mengambil keputusan secara sepihak. Jelas-jelas aku belum menyetujui apapun—ralat—tidak menyetujui.

“Ada yang lucu?” sinis pertamanya.

“Ada.” Aku berusaha menahan tawa. “Kenapa anda nekad sekali ke rumah ibu saya, sedangkan saya sama sekali tidak menyetujui apa pun?”

Teras Kota (Overheard Beauty)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang