Extra Chapter (7)

890 148 15
                                    

Sepagi ini gue sudah marah-marah ke Syazani. Dia bangun terlambat dan gue lupa mengaktifkan alarm. Padahal hari ini gue ada janji bertemu Pak Danu dan juga pihak direksi.

Kesalahan memang bukan sepenuhnya disebabkan Syazani. Gue terlalu emosional saja pagi ini. Jam sepuluh gue ada jadwal meeting dengan direksi, sementara Syazani membangunkan gue jam setengah sembilan. Sudah jelas setelah shalat subuh itu gak boleh tidur lagi, tapi karena semalam gue ngobrol dengan Syazani sampai larut malam alhasil paginya tak dapat menahan kantuk.

Persiapan gue bisa saja hanya menghabiskan lima belas menit. Tapi berbeda dengan perempuan. Bahkan sekarang saja perkara hijab tak kunjung usai. Gue memperhatikan dengan cemas Syazani yang tak selesai memakai hijab. Dari memilihnya sampai memasangnya di kepala itu lama sekali.

"Syazani, ini harus berapa lama lagi?"

"Iya, ini udah mau selesai kok."

Selesai apaan, sejak tadi masalahnya dengan hijab tak selesai-selesai.

"Buruan!" Gue mendahuluinya keluar dari unit. Tak lama terdengar dia grasak-grusuk memakai sepatu secara asal.

"Iya ini udah." Katanya terdengar menyahut dari belakang.

Sepanjang jalan gue malah mengomentarinya. Menyalahkan dia yang tak mendengar alarm dari ponselnya. Ditambah kelakuannya yang membuat gue ingin menguncinya di dalam rumah selama satu minggu.

Apa-apaan dia make-up di dalam mobil? Gue sempat meliriknya sebentar saat dia memoleskan lipstik ke bibir tipisnya. Syazani seolah sedang menggoda iman di pagi hari. Untung saja gue masih diberikan kesadaran bahwa hari ini jadwal gue padat.

"Harusnya kamu pasang alarm. Jadinya sekarang kita terlambat, kan?"

"Kamu juga kenapa gak pasang alarm?"

"Kamu lihat nih handphone aku mati."  Gue sedikit melempar handphone ke atas dashboard.

Gue meliriknya, Syazani masih memasang ekspresi tak peduli.

"Iya, maaf. Aku benar-benar gak dengar alarm bunyi." Sesalnya.

"Gini nih sifat kamu. Udah tahu salah masih saja membela diri."

Syazani menatap gue seolah tak percaya akan mengatakan hal itu.

"Kenapa aku terus sih yang disalahin? Lagian semalam juga kamu yang ngajakin aku ngobrol sampai larut malam, padahal tahu besoknya kerja." Syazani membuang tatapannya ke jendela.

Sepanjang perjalanan yang terlintas di kepala gue adalah apartemen. Gue merasa apartemen ini sudah tidak cocok lagi untuk ditinggali berdua. Setelah menikah memang ada banyak hal yang perlu dibagi dengan pasangan. Tetapi jika sampai menghambat salah satu aktivitas penting itu juga tidak baik. Sebagai contoh, berbagi kamar mandi.

Kekesalan gue hanya dilatarbelakangi sikap egois gue yang enggan terlihat buruk di mata atasan. Gue selalu ingin menampilkan hasil terbaik dan maksimal dalam menjalani sebuah pekerjaan. Tidak ingin ada celah keburukan walau seujung kuku. Nampaknya Syazani ikut kesal karena sejak tadi gue menyalahkannya.

Dalam waktu dekat gue harus segera bertemu dengan anggota Phile Squad. Mereka mempunyai solusi untuk permasalahan gue saat ini. Dulu sebelum menikah mungkin apartemen ini adalah yang paling cocok untuk gue. Ruangan yang tidak terlalu luas sangat pas untuk ditinggali seorang lajang. Namun berbeda bagi pasangan yang sudah menikah. Gue mulai berpikir apartemen ini memiliki ruang terbatas untuk kami berdua. Dan gue harus segera mencari solusinya.

Gue menoleh lagi ke samping. Syazani menangis. Pertama kalinya gue melihat dia menangis. Dan kedua kalinya dia menangis karena gue. Padahal gue sendiri sudah berjanji pada ibunya untuk tidak membuat putrinya menangis.

"Kamu kok nangis?"

Udah jelas-jelas dia menangis malah gue tanya. Syazani enggan menjawab, dia tetap menatap sisi jalan. Perasaan bersalah membuat gue sulit untuk konsentrasi mengemudi. Berulang kali gue mengalihkan pandangan padanya. Ia memang tidak menangis sampai sesenggukan, hanya air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dan air mata itu pula yang ia jatuhkan karena suaminya.

"Zan..."

Dia masih bersikap baik masih mau menoleh saat dipanggil.

"Kamu tahu kan meeting kali ini tuh penting banget. Ini penilaian buat aku. Kalau aku terlambat mereka pasti langsung menilaiku buruk dan gak becus." Gue mencoba untuk menjelaskannya.

Tatapannya lurus seakan menusuk. Ada sesuatu yang dia tahan agar tidak meledak.

"Kan aku udah minta maaf dari tadi. Kenapa dari tadi kamu terus nyalah-nyalahin aku?"

Gue tahu yang sudah gue lakukan terhadapnya itu berlebihan. Harusnya gue juga memberikan dia solusi dengan cara berangkat lebih dulu, bukan menyalahkannya secara sepihak. Gue menyadari hal itu. Jelas dia tidak akan terima.

Sedari awal harusnya gue sadar, karakter seorang perempuan tidak akan sama dengan karakter laki-laki. Memaksanya untuk searus adalah awal sebuah prahara.

Ingatan gue kembali ke pesan Tante Wina sebelum gue memutuskan menikah. Bahwa, seorang suami adalah kepala rumah tangga, pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Tapi bukan berarti kediktatoran menjadi pilihannya. Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang mengerti keadaan rakyatnya, mendengarkan keluhannya, memperhatikan kondisi mereka dan melindunginya dari segala keburukan yang mengancam.

Selain itu Tante Wina mengingatkan bahwa suami harus paham bahwa tabiat seorang istri diciptakan  memiliki akal dan agama yang kurang sempurna. Sehingga sebagai suami harus bijak, sabar, dan pengertian dalam menyikapi kekurangannya.

"Aku minta maaf."

Syazani menatap lekat. Mata bertemu mata. Lalu tatapannya jatuh pada tangan gue yang masih menyentuh tangan kanannya. Tak lama ia tersenyum dan menutup bibirnya dengan masker. Syazani membuka pintu. Kami sudah sampai di basemen kantor. Gue menyusulnya.

"Maafin aku ya?"

Gue berbisik dengan memasang wajah memohon. Lagi-lagi garis matanya terlihat menyipit, tampaknya dia tersenyum di balik masker.

"Dimaafin gak?"

"Hmm." Jawabnya hanya dengan berdeham.

Syazani tetaplah Syazani yang tidak terlalu ekspresif dalam menggambarkan perasaannya. Dia tidak akan mengatakan suka, walaupun dia menyukainya. Apalagi berharap dia akan mengatakan menyayangi gue, sepertinya itu tidak akan terjadi.

Gue menyelipkan jari-jari gue di antara jari-jari mungilnya. Dia sempat terhenyak, namun keterkejutannya bisa segera ia netralkan untuk tetap bersikap biasa saja.

"Ya udah ayo masuk!" Gue mengandeng tangannya sampai ke lobi. Kami pun masuk ke dalam lift.

___________

Agak lama update-nya ya, kebetulan ada beberapa kegiatan yang lumayan makan waktu.

Bantu ramaikan ya gengs!! Spam komen juga dong.


Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now