Teras 10

1.8K 188 2
                                    

Rumah
____________

Menjelang kepala tiga, setiap malam bukan overthinking lagi, tapi over sinting. Kukira beban orang dewasa hanya seputar jemuran yang gak kering aja, ternyata hunian sama jodoh lebih mendominasi isi kepala.


"Lo yakin ini tempatnya?"

Aku menggigit bibir bagian dalam sambil memindai sekeliling. Hanya ada papan kayu yang sedikit usang dengan tulisannya yang mulai pudar. Tertulis 'Yayasan Panti Asuhan'.

"Ngapain Si Bos ngajakin lo ke Panti?" Tanya Yasmin di sampingku yang juga memperhatikan bangunan di depan kami.

"Mana gue tahu." Aku mengendikkan bahu tidak tahu.

"Ya udah buruan lo telepon Si Bos, gue sama Yasmin nunggu di sini!"

"Ogah, biarin, gimana datangnya dia aja?! Lagian lo sih kepagian jemput gue, baru juga jam setengah sembilan."

Abyan membuang napas panjang. Dia menepati janjinya untuk mengantarku ke alamat yang diberikan Pak Bos. Yang begitu bersemangat datang ke sini itu Abyan bukan aku. Bahkan Yasmin pun sampai datang pagi-pagi sekali ke apartemenku.

Tanpa sengaja pilihan warna baju kami sama, hanya berbeda style. Aku yang memakai basic dress berwarna coklat dipadukan dengan pasmina sifon berwarna coklat muda, sneakers putih, dan sling bag berwarna putih. Sedangkan Yasmin memakai rok di bawah lutut berwarna putih dipadukan dengan turtleneck coklat, slip-on coklat muda, dan half moon bag berwarna putih. Rambutnya dibuat ikal dan sedikit bergelombang dengan menjepit bagian tengahnya sehingga terkesan lebih tebal dan casual. Sementara Abyan dia cukup memakai kaos berwarna coklat, yang dipadukan dengan celana Chino dan sneakers putih. Kami sudah seperti tiga serangkai grup vokal.

Kini mobil Abyan sedikit menjauh untuk menghindari kecurigaan El ketika sampai. Di depan halaman yayasan tersebut terdapat satu buah kursi besi, dan aku pun memilih duduk menunggu El di sana. Di sela-sela penantian aku lihat jam tangan, baru menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Sesekali aku juga mengecek ponsel barangkali ada kabar dari El, atau mungkin yang lainnya.

Jam sembilan tepat. Manusia yang memerintahkan aku untuk datang ke sini tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kalau sampai jam setengah sepuluh dia belum ada juga, akan kupastikan untuk meninggalkannya. Tak peduli esoknya di kantor dia akan mengatakan apa lagi. Yang pasti kejadian semalam saja benar-benar membuatku dongkol terhadapnya. Bayangkan saja, aku yang tengah tertidur tiba-tiba dibangunkan melalui sepiker. Lalu dia juga mengatakan di depan umum mengenai roti yang aku beri untuknya di depan Abyan dan anak magang. Benar-benar Bos tidak tahu diri. Dan sekarang membiarkan aku menunggunya hingga berkarat.

Uhuk

Kepulan asap membuatku terbatuk-batuk. Ditambah suara bising knalpot hampir memecahkan gendang telingaku. Sebuah motor besar berhenti tepat di depanku. Kutatap dari ujung kaki hingga kepala Si pengemudinya. Orang tersebut turun dari Ducati Panigale V4-nya setelah berhasil terparkir rapi. Dari postur tubuhnya jelas dia itu laki-laki. Terlebih lagi saat kuperhatikan penampilannya. Dia memakai jeans hitam , jaket khusus untuk naik motor hitam juga, trainer shoes hitam, sarung tangan, dan helm full face. Anak motor sekali, by the way. Dan kini dia membuka jaketnya hingga menyisakan kaos oblong berwarna hitam juga. Jadi mirip orang yang hendak melayat.

"P-pak?" Aku mengernyit begitu laki-laki itu membuka helmnya.

El menyisir rambutnya yang sedikit berantakan akibat helm. Melihat penampilannya saat ini, cukup meninggalkan kesan tua dari umurnya. Dia terlihat seperti masih berada di usia dua puluh lima tahunan, bukan kepala tiga.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now