Teras 53

1.3K 225 31
                                    

Perempuan Itu Spesial


__________


Minggu kedua sebelum akhirnya aku benar-benar keluar dari KAIA Group. Serentetan perkejaan sudah menanti sejak hari Jumat lalu. Namun keadaan seperti sedang tidak berpihak kepadaku. Sepagi ini perutku terasa melilit bagai diperas.

Aku lihat ke arah samping El masih tertidur pulas. Guling yang menjadi sekat di antara kami masih berada di posisi yang sama. Artinya kami berdua tidur dengan tenang. Walaupun semalam kami sempat berdebat hanya gara-gara lampu. El terbiasa tidur dengan lampu dimatikan, sedangkan aku tidak bisa tidur jika gelap. Sampai akhirnya kami sepakat hanya menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas, tidak terang hanya temaram.

Sakitnya semakin menjalar ke seluruh tubuh, hingga membuat aku meringkuk menahan sakitnya. Tanganku refleks meremas kencang selimut sambil menenggelamkan wajah di bawah lipatan tangan.

"Kamu kenapa?" Tanya El dengan suara parau. Mungkin dia terganggu olehku.

Seluruh tubuhku terasa dingin, aku menggelengkan kepala tanpa bersuara. Rasanya ingin sekali menangis. Namun tidak mungkin kulakukan, sungguh malu jika sampai El tahu aku menangis hanya karena hari pertama menstruasi.

"Oh... oke, tunggu sebentar!" Katanya sambil beranjak dari tempat tidur.

Aku tidak mampu bertanya dia akan kemana. Menahan sakit saja sudah membuat logikaku berhenti bekerja. Tak lama El masuk kembali sambil membawa sesuatu yang penuh di tangannya.

"Ini..." Dia menyerahkan satu pack pembalut bersayap. Aku mematung sebentar menatapnya yang sungguh masih bersikap datar.

"Di kamar mandinya udah ada tisu basah, dan tissue roll juga kalau kamu perlu." Sambungnya yang semakin membuatku seperti patung.

"Kuat gak? Mau aku bantu?" Dia menawarkan diri. Namun aku segera menggelengkan kepala.

"Oh iya," dia berjalan menuju walk in closet, mengambil kain berwarna hitam di sana. "Kamu pakai celana aku dulu aja buat gantinya, kayaknya cukup deh itu pas aku masih SMA." Dia menyerahkan Jogger pants kepadaku.

Aku pun menerimanya, namun masih enggan beranjak dari tempat tidur. "Celana sama seprainya nanti gak apa-apa aku yang cuciin. Kamu bisa ambil cuti mentruasi, istirahat aja."

"Nggak usah, aku yang cuci aja." Cicitku.

"Memangnya kenapa kalau aku yang cuci? Aku suami kamu jadi udah sewajarnya bukan hal yang tabu lagi. Gak usah malu. Lagian kamu sanggup nyucinya dalam keadaan kesakitan kayak gitu? Muka kamu aja pucat banget."

Aku menatapnya penuh memelas, "makasih dan maaf merepotkan."

"No, sama sekali gak merepotkan." Katanya sambil mengulurkan tangan membantu aku turun dari tempat tidur.

Walaupun dengan suami, malunya aku saat ini sampai ke ubun-ubun. Apalagi setelah terpampang jelas noda merah di seprainya. Namun tanpa rasa jijik El menarik seprainya, lalu mengambil air ke dalam wadah juga sikat. Ia mencipratkan airnya ke atas kasur, lalu menyikatnya dan kembali mencipratkan airnya sampai noda merah itu perlahan memudar.

Aku masuk ke dalam kamar mandi. Menahan malu di dalam sana cukup lama. Kalau boleh aku tidak ingin keluar lagi, sungguh rasanya malu bekas mentruasiku dibersihkan oleh seorang laki-laki. Dan ini merupakan pengalaman pertamaku. El laki-laki pertama yang membersihkan nodanya.

El mengetuk pintu kamar mandi. Aku membukanya perlahan, dia sedang berdiri di depan pintu sambil memegangi seprainya.

"Celananya mana?  Aku mau cuci di bawah."

"Gak usah, udah aku cuci kok. Kenapa gak di sini aja?" Tanyaku.

"Di sini alat-alatnya kurang lengkap sama sempit. Mending ke laundry room aja." Jelasnya. Padahal ini masih sekitar jam setengah dua pagi, namun El memutuskan untuk mencucinya.

"Kamu tidur dulu aja, aku udah pasangin seprai baru kok. Coba pakai ini, kata Alana ini ampuh banget kalau pas lagi PMS kayak gitu."

Dia menyerahkan menstruasi bearing pad electric berwarna merah muda yang sependek pengetahuanku itu untuk menghangatkan dan memijat perut di kala menstruasi. Selain itu dia juga membawa cramps bag yang sepertinya sudah diisi air panas. Tanpa diduga El laki-laki yang sangat peka. Dia benar-benar lengkap membawa apa yang aku butuhkan. Tanpa harus meminta lebih dulu.

Sebelum El pergi aku mengutarakan pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin. "Kamu gak jijik?"

El mengerutkan keningnya, "jijik kenapa? Kalau seandainya nanti kamu melahirkan siapa yang mau cuci pakaian kamu kalau bukan aku? Lagian nyuci, ngepel, bersih-bersih itu juga bagian dari tugas suami."

Lagi-lagi aku takjub dengan jawabannya. Walaupun manusia satu ini terkadang mengesalkan, tapi jika dia sedang bersikap baik, baiknya tidak tertolong.

Mengikuti arahannya aku pun merebahkan diri kembali. Mencoba menutup mata sekitar lima belas menitan sampai suara pintu dibuka terdengar kembali. Aku bangun untuk mengecek siapa yang datang.

El datang dengan baju yang sedikit basah. Mungkin dia mengira aku sedang tidur sehingga tidak berani menggangguku. Diam-diam aku mengintipnya yang berjalan menuju kamar mandi. Tak lama dia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah basah. Dia mengambil sesuatu dari dalam lemari—sarung.

Aku masih memperhatikan El diam-diam. Dia menggelar sajadah tanpa menggangguku. Ia mulai mengangkat kedua tangannya lalu menyelesaikan shalatnya. Selesai salam, El menoleh ke arahku. Dia kemudian memberikan kode menepuk tempat di sampingnya untuk menyuruhku duduk.

"Kenapa?"

Dia hanya menggeleng lalu menarik tanganku dan... dia membuka jariku yang kemudian dia pakai untuk berdzikir. Aku mengangkat kepala untuk menatapnya. Wajah teduhnya membuatku betah berlama-lama menatapnya seperti ini. Alis mata yang tegas, hidung yang tinggi, juga rambut klimisnya sulit dihindari untuk berpaling menatap objek lain.

"Sudah jadi fitrahnya perempuan, jangan merasa malu ataupun kesal. Allah itu udah mengatur segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Gak mungkin terjadi kalau gak ada efek sampingnya. Coba kalau darah kotornya gak keluar, kan nanti pasti jadi penyakit." Katanya seolah dapat membaca apa yang sedang aku pikirkan.

Dia selalu seperti itu, mudah menganalisa seseorang juga tebakannya jarang meleset. Aku masih ingat dulu dia memasang cctv di ruang Accounting hanya untuk memastikan apa yang kulakukan. Karena mungkin seringkali dia melihat aku pulang terlambat. Tak jarang dia ikut menemani lembur padahal pekerjaannya sendiri sudah selesai.

"Allah menciptakan perempuan itu begitu spesial. Saking spesialnya nih, Allah itu mempermudah perempuan mendapatkan pahala setara laki-laki yang melaksanakan shalatnya di masjid. Spesial gak tuh?"

Aku mengangguk ikut tersenyum.

"Jangan sedih, selama masa haid malaikat terus menuliskan amal-amal baik perempuan selama yang dikerjakan adalah hal-hal yang baik. Mungkin hari ini kamu gak bisa ikut shalat berjamaah, tapi bukankah kamu bisa melakukan hal-hal lain misalnya zikir atau bershalawat. Iya kan?"

Ucapannya kembali membuat bibirku mengembang. Dini hari yang dihabiskan dengan mendengarkan El mengaji sampai terdengar adzan subuh berkumandang. Ia pun segera pergi ke masjid untuk ikut shalat berjamaah. Sementara aku memilih pergi ke dapur untuk membantu bibi menyiapkan sarapan semua anggota keluarga.

Seperti yang dikatakannya, hari ini aku mengambil cuti. El dan Pak Danu sudah siap berangkat ke kantor. Sementara Alana masih memakai piyama karena hari ini dia tidak masuk sekolah. Selain menyiapkan sarapan aku juga menyiapkan bekal makan siang untuk El, dia akan sangat melupakan makan siang jika sudah bergelut dengan pekerjaannya.

_______________


Huft, ternyata part ini perlu dibagi 2. Lusa kita kembali yaa, besok belum bisa update gengs aku ada iftar dulu.

Lucas juga tetap lanjut kok InsyaAllah.

See you!!

Jazakumullah khairan katsiran.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now