Extra Chapter (6)

938 125 15
                                    

"Kamu kenapa diam aja?"

Sejak tadi Syazani hanya menatap makanan di piringnya tanpa menyentuh.

"Nggak." Dia menggeleng cepat lalu menyendok makanannya.

"Hari ini kamu ada jadwal keluar kantor lagi?"

Pertanyaan gue tak kunjung dijawab. Refleks gue menatapnya lagi, dan dia kembali sedang melamun. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?

"Zani?"

"Emm?" Dia spontan menoleh.

"Kamu dari tadi ngelamunin apa sih?"

"Nggak ngelamunin apa-apa kok."

Gue tahu dia berbohong.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku." Kontan dia menoleh lagi.

Sengaja gue mengubah panggilan menjadi aku-kamu, agar dia mulai terbiasa.

"Pertanyaan yang mana?"

"Seharusnya kalau kamu gak melamun tahu pertanyaa  dari aku."

"Bisa diulang gak?" Pintanya sedikit memelas.

"Tanpa kamu minta juga bakalan aku ulangi."

Dia tersenyum tak merasa berdosa.

"Hari ini kamu ada jadwal keluar kantor lagi gak?"

"Oh, nggak kayaknya."

Pertanyaan gue berhenti sampai di situ. Gue gak mau membahas terlalu dalam perkara semalam. Jika dia sudah berani menceritakannya baru gue akan menanggapi. Kalau harus mendesaknya tiba-tiba agar mau bercerita, gue takut malah membuat dia tidak nyaman. Status kami menikah baru beberapa hari gue gak mau malah semakin memperkuat jarak. Sudah jauh semakin jauh.

Gue mengutip perkataan seorang psikolog bernama Ibu Elly Risman. Bahwa menikah itu tujuh puluh persen isinya ngobrol. Ngobrol tentang kegiatan sehari-hari,  ngobrol tentang keuangan, ngobrol tentang pekerjaan,  ngobrol soal mendidik dan pendidikan anak, ataupun ngobrolin hal-hal random. Jika ngobrol saja sudah tidak nyambung , gimana cara menjalin hubungannya?

Hubungan kami memang baru dan Syazani lebih memilih untuk mengunci mulutnya ketimbang harus berbicara banyak hal ke gue. Walaupun seandainya gue gak bisa ngasih dia solusi, tapi dengan bercerita mungkin bebannya bisa sedikit berkurang.

Sarapan kami berakhir dengan saling diam. Makanan masih tersisa banyak. Porsi nasi goreng yang dibuat Syazani melebihi porsi untuk dua orang. Sepertinya dia memasak sambil melamun, sehingga tidak fokus dengan kuantitasnya.

"Aku boleh ngasih makanannya ke staf di bawah gak?"

Oke. Dia mulai menyebut dirinya dengan aku. Progres yang bagus.

"Gak apa-apa, sekalian aja semuanya biar gak mubazir."

Syazani pun mengangguk semangat dia berlari ke dapur dan mulai mencari kotak makan yang dibelinya beberapa hari lalu. Karena di apartemen gue hampir tidak menyediakan kotak makan. Jadi dia inisiatif membeli beberapa kotak makan dengan bentuk yang berbeda-beda juga warna-warna pastel yang menurutnya menggemaskan.

Perbedaannya terlalu kontras antara sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelumnya gue gak peduli dengan perabotan di apartemen, setelah menikah berbanding terbalik. Syazani mulai memperhatikan setiap sudutnya. Mini kitchen gue sekarang lumayan lengkap perabotannya, belum lagi di setiap sudut dia menaruh beberapa tanaman hidup yang sebenarnya gue gak suka. Tapi gue sadar bahwa sekarang gue gak bisa egois. Ada seseorang yang hidup berdampingan dengan gue sekarang, apa yang gue mau belum tentu dia juga mau.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now