Teras 3

2.1K 272 4
                                    

Perpisahan

___________


Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.

Di hadapanku telah terbujur kaku seseorang yang telah ditutupi kain batik. Kali ini seluruh tubuhku mendadak lumpuh dan ambruk di ambang pintu. Semua mata tertuju padaku termasuk tatapan sendu ibu. Dan itu menyakitkan.

Hari ini dunia terasa runtuh di atas kepalaku. Semua orang memandangku dengan tatapan iba. Perlahan tubuhku berangsur mendekat ayah yang tengah terlelap. Mbak Emil yang ikut melawat pun berusaha membantu aku untuk berdiri. Sedangkan dua orang lelaki di belakangku hanya mampu berdiri kaku.

Kenapa begitu menyakitkan sekali kehilanganmu, ayah? Aku ikhlas ayah tapi aku rindu.

Kupeluk tubuh ayah yang sudah dingin dengan wajah yang pucat. Air mata yang sejak tadi tidak keluar setetes pun akhirnya tumpah di depan tubuh kaku ayah. Wajar bukan menangis atas kehilangan? Karena yang dilarang itu meratapinya, berlebihan dalam menangis dan tidak rela dengan keputusan Allah.

"Ayah ... Kiya ... datang ..." kataku dengan suara bergetar dan terbata-bata.

Sekali lagi kupeluk tubuh ayah. Tanganku bergerak menghapus air mata yang tersisa di pipi. Kemudian kukecup lama kening ayah. Lama sekali.

"Ayah ... dulu ayah yang selalu kecup kening Kiya. Sekarang ..." Aku menjedanya untuk mengurangi sesak sejenak.

"Sekarang ... giliran Kiya yang kecup kening ayah buat yang terakhir kalinya. Kiya ikhlas ayah ... walaupun nanti Kiya pasti merindukan ayah."

Sekali lagi kupeluk ayah dengan erat. Disusul ibu yang memelukku sambil tergugu. Ya Allah ... jika aku bersikap lemah seperti ini, siapa yang akan menguatkan ibu? Kehilangannya ibu jauh lebih besar dari ku, sebab ibu harus kehilangan cinta sejatinya di dunia.

Tidak banyak pelayat yang datang. Dikarenakan saat ini masih dalam situasi pandemi. Kematian ayah bukan karena terpapar covid-19, namun karena kerusakan ginjal yang telah lama diderita ayah.

Satu minggu yang lalu aku mendengar ayah mengatakan padaku sendiri bahwa ayah sangat merasa sehat. Dan ibu baru memberitahukan pada ku hari ini bahwa kondisi ayah menurun dari tiga hari yang lalu.

Infonya Hemodialisis ayah gagal saat itu. Tubuh ayah seolah menolak. Tak banyak kerabat yang datang karena masih terhambat oleh adanya PPKM.

"Zan, ayahmu mau dishalatkan dulu." Bisik mbak Emil.

Aku mengangguk dan segera mengambil air wudu untuk langsung bergabung menyolatkan ayah. Ya Allah ... aku bersaksi ayah adalah orang yang baik. Ayah menunaikan kewajibannya sebagai orang tua. Ayah mendidikku, ayah memberikan nafkahnya untukku, dan ayah sangat menyayangiku. Apa yang Engkau perintahkan, ayah menaatinya Ya Rabb.

Sungguh tegarnya ibu. Aku lihat ibu masih berusaha tersenyum menyambut pelayat. Sementara aku tak ingin jauh dari ayah dan hanya mampu duduk di teras masjid begitu selesai shalat.

Memori-memori indah bersama ayah kini sedang berputar di kepalaku. Ketika ayah mengajariku naik sepeda untuk pertama kalinya, ayah juga mengantarkan aku di hari pertama sekolah. Dan yang paling menyedihkan adalah di hari wisudaku ayah berdiri sambil bertepuk tangan dengan wajah tersenyum penuh kebanggaan. Tahu kan rasanya seperti apa, ketika orang tua kita selalu menganggap kita luar biasa meskipun sebenarnya orang lain pun mampu melakukan hal yang lebih daripada kita? Itu senang bukan main. Merasa dihargai setiap pencapaian kita.

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan¹."

Aku menatap pada orang yang sedang berbicara. Dia ikut duduk sedikit agak jauh dariku.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now