Teras 24

1.3K 188 22
                                    

Ngajak Nikah?

Anda menyebalkan, anda bukan calon imam impian, anda pernah melempar kertas ke mukaku, anda otoriter, anda banyak memerintah. Tapi semua itu hanya tertahan di kerongkongan tak sampai lidah meneruskan.

_____________

Aku menyeruput milo panas sambil memandangi deretan gedung pencakar langit. Hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi malam ini. Kulihat dua orang di depanku sedang makan. Yang satu terlihat menikmati menu ayam goreng sajian dari restoran cepat saji, sedangkan yang satunya lagi terliat ogah-ogahan memakan burger yang dipesannya.

Setelah insiden dibuntuti Pak Bos menuju apartement, kini aku terjebak duduk bersama El dan Alana. Tanpa diduga, anak itu sudah berada di lobi apartement menungguku lengkap dengan seragam putih-abunya. Padahal waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Dimana seharusnya seorang anak usia sekolah berada di rumah bersiap untuk tidur. Namun seperti biasa Alana masih berkeliaran di malam hari. Mungkin kesepian yang menjadi factor utamanya dia sering pergi dari rumah. Aku cukup terkejut melihat ada yang berbeda dari Alana, penampilan anak itu sedikit berbeda dari sebelumnya. Kini dia menutupi rambutnya dengan hijab. Lama tak berjumpa dia sudah melakukan perubahan yang lebih baik.

Niat hati ingin meloloskan diri dari kakaknya dengan berusaha kabur, namun suara Alana memaksaku untuk berhenti dan menoleh. Tidak mungkin jika aku harus berpura-pura tidak melihat sementara Alana sudah berdiri tepat di depanku.

“Kak El ngapain ngikutin Kak Zani?” Alana bertanya tepat ketika kakaknya membuka kaca jendela mobil setelah aku keluar dari taksi yang dipesannya.

Alih-alih tertangkap basah, El justru bersikap tidak wajar-seperti biasa.

“Nganterin pulang.”

Mataku hampir saja copot mendengar jawabannya. Bisa-bisanya dia bersikap santai. Bagaimana jika Alana berpikir yang tidak-tidak? Argh… dasar bebal!!! Dia betulan pintar atau pura-pura pintar sih, aku kesal sendiri mendengar jawabnya.

“Se-ba-gai?” eja Alana pelan kontras sekali rasa penasarannya itu.

“Staf gue.” Jawabnya lagi dengan enteng sambil menjatuhkan diri di sofa lobi.

“Lo nganterin... semua staf lo gitu Kak?”

“Kerjaan gue banyak, ngapain gue harus nganterin staf pulang? Mereka kan dikasih uang transport.”

Tepat, manusia dengan tiga gelar itu menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang ada di kepalannya tanpa filter. Bagaimana jika adiknya berpikir yang tidak-tidak, secara tidak langsung El menegaskan bahwa hanya aku yang diantar olehnya.

Geram rasanya. Acara menikmati tidur lebih lama gagal oleh satu ajakan yang lolos dari mulut Alana. Ingin menolak namun tak kuasa. Akhirnya aku mengiyakan dengan hati yang tak sepenuhnya ikhlas.

“Lo ikut juga Kak! Pasti lo belum makan kan?” todong Alana pada kakaknya.

Aku buru-buru memberikan opsi restoran cepat saji yang berada di seberang apartemenku, sebelum Alana atau El mengajukan pilihan mereka masing-masing-masing. Dan keberuntungan sedang berpihak padaku. Alana menyetujui tanpa protes sedangkan kakaknya tampak tak setuju dengan opsi yang kuberikan. Ya sudahlah aku juga sudah terbiasa berbeda pendapat dengan El.

Di sinilah kami sekarang, aku dan Alana memesan ayam goreng sementara El memilih untuk memesan burger yang dimakannya secara ogah-ogahan. Dan aku tidak peduli atas ketidaksetujuannya.

“Sejak kapan Al?” tanyaku sambil memberi isyarat tangan pada kepala sebagai pembuka keheningan.

Alana berhenti sejenak lalu meneguk minuman teh yang dipesannya. “Belum lama kok Kak. Baru semingguan.”

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now