Extra Chapter (1)

1.3K 141 19
                                    

Acara akad berakhir di jam lima sore. Gue dan Zani sepakat menggelar prosesi akad nikah di jam empat sore tepatnya ba'da ashar. Alasannya sederhana, kami tidak ingin menggangu waktu shalat baik untuk kami pribadi atau bagi tamu undangan. Resepsi yang digelar pun tidak mengundang banyak orang. Selain dikarenakan kondisi pandemi untuk tidak menciptakan kerumunan, gue juga sengaja agar acara ini lebih privat. Baik gue maupun Zani jadi bisa mengenal saudara masing-masing lebih dekat. Coba bayangkan jika yang diundang hingga beribu-ribu orang, pasti waktu kita untuk mengenal keluarga terbatas.

Hampir seluruh tamu undangan membubarkan diri sekitar jam setengah enam tadi. Sisanya hanya keluarga Syazani yang pamit paling terakhir di jam setengah tujuh malam. Papa dan Alana juga sudah langsung pulang ke Jakarta belum lama. Tinggalah gue, Syazani dan ibunya. Keadaan rumah tidak terlalu berantakan karena pihak katering ikut membersihkan sebelumnya.

Beberapa jam menyambut tamu membuat gue berkeringat. Padahal yang datang tidak lebih dari tiga puluh orang. Seandainya resepsi digelar secara besar-besaran gue gak yakin cuma seribu dua ribu aja. Pasti lebih banyak lagi, apalagi rekan-rekan bisnis papa pasti akan lebih mendominasi undangan. Untungnya pernikahan kami bertepatan dengan pandemi sehingga gue dan Zani gak perlu lama-lama berdiri menyambut tamu sampai bibir kaku karena harus tersenyum sepanjang resepsi berlangsung .

Gue masuk kembali ke dalam rumah setelah mengantar papa dan Alana sampai gerbang komplek. Syazani terlihat sibuk di dapur membereskan beberapa barang yang dipakai untuk menaruh makanan tadi. Badan gue lengket membuat gue gak nyaman. Gengsi juga kalau sampai bau keringat gue kecium istri dan mertua. Mana nikahnya saja baru beberapa jam. Gue gak mau aib terbuka di hari pertama menjadi suaminya. Sebagai anggota keluarga baru gue gak mau hilang tatakrama masuk ke dalam kamar mandi orang lain tanpa izin.

"Papa dan Alana udah pulang El?" Tanya ibu menghampiri gue sambil membawa nampan berisi kue-kue basah.

"Sudah bu." Jawab gue ikut membantu memasukkan gelas air mineral kosong ke dalam karton bekas.

"Udah gak usah ikut beres-beres, tinggal ini aja kok ibu sama Kiya yang ngerjain juga selesai."

"Gak apa-apa bu." Gue masih memunguti sampah-sampah gelas air mineral.

"Mending kamu sekarang istirahat di kamar Kiya aja!"

Spontan pemilik kamar menoleh dan agak melotot tidak ikhlas ke arah gue. Ekspresinya lucu membuat gue berusaha menahan tawa. Nyaris gue mendekatinya karena gatal ingin mencubit.

"Gak usah bu, paling sebentar lagi saya mau numpang mandi aja sebelum ke masjid."

"Ini rumah kamu juga, jangan sungkan. Ya udah ke kamar Kiya aja. Bandung suhu udaranya dingin lho, mandi malam-malam lebih baik pakai air hangat aja! Di kamar Kiya ada water heater-nya juga kok."

"Tapi aku juga mau mandi bu," demo Zani tidak terima gue numpang mandi di kamarnya.

"Kamu kan bisa gantian Kiy. Kalau nggak, kamu pakai kamar mandi yang di kamar tamu aja."

"Kok aku sih?" Gerutunya dengan wajah cemberut. Seandainya tidak ada ibunya disini, rasanya ingin gue cubit pipinya. Sama suami sendiri dia pelit. Apa dia lupa statusnya sekarang sudah sah jadi istri gue?!

"Ya udah bu, gak apa-apa biar saya yang mandi di kamar mandi tamu aja."

Kontan Zani langsung menatap gue. Agaknya dia mengibarkan bendera perang. Ini pertama kalinya gue dan dia saling menatap antara mata bertemu mata. Tapi bukan tatapan kagum apalagi cinta. Hanya tatapan kesal yang nampak dari sorot matanya.

"Jangan-jangan, lagian kalian udah sah nikah. Artinya kamar Kiya juga kamar kamu sekarang, kok malah jadi pisah-pisah gimana sih?"

Ibunya bisa bilang begitu ke gue tapi lain dengan anaknya. Tatapannya masih terasa tidak ikhlas berbagi kamar dengan gue.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now