Teras 53 (B)

1.3K 214 15
                                    

Kaktus itu gak bikin capek perawatannya, tetap hidup walaupun berhari-hari lupa disiram. Seperti kehidupan walaupun tidak diberikan perhatian khusus, tapi masih bisa hidup kuat dan tangguh.

_____________

Merasa tidak wajar menghabiskan cuti hanya dengan tiduran di kamar rasanya sia-sia sekali. Lagipula sakit yang sempat menyerang tadi sudah mulai reda sejak El memberikan pertolongannya. Selesai mandi dan membereskan kamar, aku turun ke lantai satu. Ada bibi di sana yang sedang melap bagian meja, aku pun menghampirinya.

"Lho, Mbak Zani kok malah turun? Istirahat aja mbak, tadi Mas El juga udah bilang mbak lagi sakit."

"Udah gak apa-apa kok bi, tenang aja."

Aku mengambil beberapa majalah yang mungkin sempat dibaca Pak Danu. Merapikan dan meletakkannya kembali pada rak buku yang ada di sudut kanan. Di setiap sudut rumah ini selalu ada rak buku. Mungkin karena hobi Pak Danu yang mengamalkan ayat yang turun pertama kali.

"Oh ya bi, Alana sama Papa kemana?" Aku tidak melihat keduanya sejak sarapan berakhir.

"O-oh... kalau bapak seperti biasa, lagi siram tanaman di samping. Kalau Mbak Al lagi class-meeting sama teman-temannya."

Aku ber-ohria. Karena penasaran aku akhirnya meminta ijin untuk melihat tanaman koleksi Pak Danu. Rumah ini terlampau besar untuk dikelilingi. Banyak spot yang menurutku banyak sekali nilai artistiknya. Seperti banyaknya lukisan abstrak di setiap ruangan, lalu yang sekarang aku temui adalah bangunan berupa gazebo yang mengusung konsep Bali.

Benar kata bibi, Pak Danu jika tidak bekerja dia akan datang ke tempat koleksi tanamannya. Namun ketika hampir dekat aku terheran melihat koleksi tanamannya. Bukan seperti tanaman monstera, anggrek, atau semacam tanaman hias lainnya yang terlihat indah saat mulai merambat ataupun memiliki warna yang terang. Tanaman yang dikoleksi Pak Danu adalah sejenis kaktus. Ya, hampir satu ruangan itu isinya kaktus semua. Semua jenis kaktus mulai dari kecil sampai yang besar.

"Lho Zani kenapa ke sini?" Tanya Pak Danu menyadari keberadaanku.

"Papa suka kaktus?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan.

Pak Danu menoleh kepadaku. Dia tersenyum lalu kembali bergulat dengan tanah di depannya. Tangannya dibalut sarung tangan.

"Cuma kaktus yang bisa papa rawat di saat waktu papa hampir banyak sama pekerjaan."

Aku mengamati beberapa pot di depan. Bukan hanya tanah yang menjadi media tanamnya Pak Danu memakai media sekam bakar, pasir malang, cocopeat juga.

"Kaktus itu gak bikin capek perawatannya, tetap hidup walaupun berhari-hari lupa disiram. Seperti kehidupan walaupun tidak diberikan perhatian khusus, tapi masih bisa hidup kuat dan tangguh."

Kami berdua tertawa. Bisa banyak berbicara dengan Pak Danu mengingatkan aku pada sosok ayah yang telah pergi. Sosoknya yang hangat dan sering memberikan banyak petuah tanpa menggurui membuat siapa saja betah berbicara dengannya.

"Saya juga pengin tanam, tapi kayaknya El gak bakal ijinin." Kataku sambil mengamati sukulen .

"Dia gak akan suka tanaman, apalagi kaktus." Kontan aku langsung menatap Pak Danu. Fakta baru yang baru aku dengar.

"Mamanya itu suka tanaman, apalagi kaktus. Tempat ini sebenarnya milik mamanya El. Dulu mereka sering menghabiskan waktu di sini. Terlalu banyak momen yang malah bikin El gak mau datang lagi ke sini." Pak Danu bercerita dengan menatap lurus. Seolah ada sesuatu yang begitu ia rindukan.

"Makanya dia gak akan pernah suka kaktus. Bagi dia menyukai kaktus sama saja mengingat mamanya." Lanjut Pak Danu.

Aku tertegun. Yang dimaksud mamanya berarti adalah mamanya Alana juga. Dan aku baru tahu bahwa El tidak pernah menyukai kaktus, pantas saja di apartemennya tidak ada tanaman satu pun. Jangankan tanaman hidup, tanaman mati saja tidak ada.

"Piano... dulu bundanya seorang pianis. Semenjak Papa bawa ke rumah ini, dia gak pernah mau memainkannya. Kesalahan fatal yang papa buat kepadanya adalah memaksa dia mengikuti les piano. Padahal seharusnya papa tahu kalau piano malah mengorek luka lamanya." Jelas Pak Danu tatapannya menerawang ke depan.

"Papa juga heran justru Alana yang berbakat memainkan piano. Padahal papa gak pernah mengajarinya ataupun menyuruhnya untuk les."

Aku masih diam. Mendengarkan orang bercerita jauh lebih baik daripada berpura-pura antusias dengan banyak bertanya. Sebab yang mereka perlukan hanya menjadi pendengar bukan ikut berkomentar.

"Mama dan bundanya memiliki tempat yang berbeda bagi papa. El lahir atas kesalahan papa, dan merupakan sebuah anugerah bukan musibah. Baik mama maupun bunda keduanya perempuan istimewa bagi papa. Yang satu istri papa, yang satu sahabat terbaik papa." Jelasnya dan diakhiri senyuman tulus.

"El cukup beruntung punya keluarga yang komplit. Saya yang terlahir sebagai anak tunggal kadang-kadang sering kesepian kalau di rumah." Kataku.

"Sekarang kita keluarga, Alana jadi punya kakak perempuan dan Zani punya adik perempuan. Rumah ini juga rumah kalian."

Obrolan kami berlangsung cukup lama sampai tanpa terasa papa bisa mengisi semua pot-pot itu kosong tadi.

"Papa minta bantuan Zani untuk menguatkan mental Alana. Dia tidak pernah memiliki sosok perempuan yang bisa diajak untuk sharing. Terlebih mengenai hal-hal keperempuanan. Alana kehilangan mamanya sejak kecil, mungkin di saat dia aja belum ingat wajah ibunya seperti apa."

Ada sesuatu yang mencubit hatiku. Rasanya pedih begitu mendengar permintaan papa. Jika El masih menyimpan luka di masa kecilnya dan menyalahkan diri sendiri atas kelahirannya, berbeda dengan Alana. Gadis itu bahkan belum ingat rupa perempuan yang melahirkannya ke dunia ini. Mungkin itu juga yang menjadi penyebab Pak Danu banyak memasang foto keluarga, yang justru malah dibenci oleh El. Dan apa kabar dengan rasa kehilangan yang dialami Pak Danu? Mungkin perasaan bersalah terhadap anak-anaknya yang menghantuinya selama ini. Sehingga beliau memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan.

"Apapun yang Alana tahu tentang El sama mamanya, semua itu cuma hasil cerita dari bibi. Alana sebenarnya gak tahu. Setiap papa tanya aja dia bisa mengingat wajah mamanya atau tidak, dia selalu bilang 'aku gak ingat wajah mama seperti apa'." Saat itu juga papa menghela napas berat, namun senyum di bibirnya sama sekali tidak memudar.

Bersamaan dengan itu ponselku berdering menghentikan obrolan kami. Aku menggeser panel hijau dan segera menempelkannya di telinga. Tanpa terasa sudah hampir jam setengah enam sore. El mengatakan ia akan segera menjemputku untuk pulang ke apartemen.

__________

Pak Danu mode galau ya, ck.

Pendek banget? Tahu kok, wkwkwk.

Ramaikan lagi gengs, besok kita ketemu lagi ya. Bantu follow juga akun Instagram @thalasoo24, untuk info update di sana.

Jazakumullah khairan jazaa.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now