Teras 36

1.5K 229 40
                                    

Baby Sitter Magang

Setinggi apapun potensi kita untuk sukses, tidak akan pernah tercapai jika ada rasa malas untuk menekuninya.

_____________



Kebakaran yang terjadi di rooftop memang bukan termasuk yang besar. Tidak banyak bagian yang terbakar, tidak ada korban jiwa. Hanya menghanguskan pembatas tempat genset disimpan. Setelah dikonfirmasi, penyebabnya karena adanya kerusakan di salah satu komponen kabelnya. Pihak engineering bisa memastikan itu dapat segera diatasi.

Saat kejadian aku sangat bersyukur El berhasil menemukanku. Ya... memang seharusnya dia yang bertanggung jawab. Ini juga karena ulahnya. Memerintah untuk mencari dokumen seorang diri. Padahal sudah kukatakan tidak sanggup mencari dokumen itu sendirian.

Hampir satu jam aku mencari odner yang dimaksud. Yang membuatku pening, odner tersebut ada di bagian rak paling atas. Cukup sulit untuk menjangkaunya berhubung aku tidak terlalu tinggi. Setelah cukup lama mencari cara, aku pun memutuskan untuk menaiki rak tersebut. Kakiku baru saja menginjak lantai, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari luar. Betapa ketakutannya aku saat itu. Aku berjongkok menutup telinga. Kobaran api terlihat begitu dekat.

Ingatanku langsung melayang pada peristiwa pengeboman yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada tahun 2009. Pikiranku semakin kacau bercampur panik. Dalam hati aku berpasrah pada Sang Pencipta, jikapun aku harus berakhir disini aku berharap tidak merasakan panasnya api dan kutitipkan orang-orang yang kusayangi.

Di tengah ketakutan yang melanda, samar-samar kudengar pintu emergency ditarik kencang. Kontan aku menatap ke arah sana berharap ada bala bantuan yang datang. Sungguh bersyukur dengan yang Allah kirimkan padaku untuk sebagai penyelamat. Mataku bersirobok dengan penyelamat yang berdiri di sana menyeka keringat di dahi. Penyelamat tersebut  adalah suamiku sendiri—El. Wajahnya panik pakaian dan rambutnya sudah tidak berbentuk—berantakan. Dia berlari dan segera merangkupku.

"Kamu gak apa-apa?" Jari-jari besarnya menyeka sisa air mata di pipiku.

Mendapat perlakuan seperti itu membuat jantungku seakan loncat dari tempatnya. Aku sedikit salah tingkah ditatapnya dengan jarak yang sangat dekat. Come on Zani, api yang berkobar di depan jauh lebih panas daripada percikan asmara.

"Nggak." Aku mengakhiri kecanggungan ini lalu menyodorkan odner yang isinya sangat penuh. "Nih, yang kamu minta. Kayaknya aku gak bisa email malam ini deh."

El mengernyit. "Kamu kenapa sih? Dalam keadaan kayak gini masih aja mikirin kerjaan. Udah aku gak butuh itu."

Mataku spontan terbuka lebih lebar ketika mendengarnya. Kepulan asap sudah beralih ke atas ubun-ubunku. "Maksud kamu gak butuh, gimana? Aku udah capek-capek nyariin!" Intinosiku meninggi. Merasa tak dihargai.

"Oke... oke, aku butuh." Dia menerima odnernya setelah mengetahui aku marah.

"Sekarang kita sampai aja dulu ke lobi ya? Ini nanti aku yang kerjain." Bujuknya.

"Gitu dong dari tadi. Harus banget lihat istrinya menderita dulu baru mau nolong."

El mulai mengalah. Atau mungkin lebih tepatnya pasrah. "Iya, aku minta maaf. Udah ayok buruan jalan, takut apinya merambat kemana-mana."

Giliran aku yang mengernyitkan dahi. "Apaan sih? Itu api cuma nyala di mesin gensetnya aja. Di pembatasnya, gak sampai keluar. Pakai apar powder juga kayaknya padam deh." Aku menjelaskan sesuai dengan yang terlihat tadi.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now