Extra Chapter (9)

813 129 17
                                    

"Sejauh ini gue sama Pak Ari cuma bisa akses yang di depan ruang arsip. Tapi untuk di depan tangga cctv malah error dari jam sepuluh. Jauh sebelum kejadian."

Gue meremas tangan di balik saku. Perasaan gue sedikit mengganjal dengan kejadian kebakaran yang hampir mencelakai Syazani. Tapi gue juga gak punya bukti untuk mengungkapkannya. Gue, Abyan, dan Pak Ari chief engineering sudah berusaha mengecek cctv dari berbagai sudut.

Awal mulanya Pak Ari yakin kalau kebakaran terjadi karena korsleting listrik. Namun gue masih merasa bukan itu yang sebenarnya terjadi. Pak Ari juga tidak semena-mena menganggap pendapatnya adalah yang paling benar. Dia juga berusaha untuk tetap mencari tahu. Satu-satunya jawaban adalah cctv dari arah tangga darurat. Namun cctv itu saat ini malah tidak menghasilkan apapun.

Sebelum gue memutuskan untuk mencari tahu penyebab kebakaran, gue lebih dulu menenangkan Syazani. Itu juga menjadi momen pertama gue memeluk dia walaupun dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk dibilang romantis. Syazani menggigil dan gue kehabisan nafas setelah melalui enam belas lantai menaiki tangga darurat. Untungnya gue gak berakhir pingsan saat sampai di rooftop. Tulang suami memang diciptakan lebih kuat untuk menopang istrinya.

Setelah berhasil membawa turun Syazani, gue pikir dia akan terkesima dengan aksi heroik gue menyelamatkannya. Realitanya kami bertengkar di emergency room. Dalam keadaan panik dia masih sempat-sempatnya menyerahkan domumen yang gue minta. Entah responnya yang terlalu tinggi, atau karena takut gue marah. Itu semua beda tipis. Jelas gue tidak menerima dokumennya, sementara gue diliputi kecemasan dan tindakkannya menantang bahaya. Namun lagi-lagi dia menganggap gue tidak menghargai usahanya.

Dengan kurang ikhlas gue menerimanya. Sungguh yang lebih tidak masuk akal ketika dia mengatakan bahwa itu hanya kebakaran kecil yang membakar pembatas genset. Sedangkan jelas-jelas gue melihat apinya begitu cepat merambat. Tak ingin berdebat lama, karena jelas gue juga khawatir sama keadaan akhirnya gue mencoba menawarkan diri untuk menggendong ia yang terlihat lemas.

Opsi ini bukan yang terbaik sih sebenernya. Gue juga membayangkannya sedikit ngeri. Realistis saja kalau sampai dia mau gue gendong sampai lobi, lutut dan pinggang gue jelas tidak akan terselamatkan lagi. Melewati 16 lantai membawa diri saja sudah hampir membuat nafas terengah-engah, apalagi harus menambah beban tubuh orang lain di punggung. Gue gak bisa menjamin akan sadar sampai lobi.

"Udah, gak usah cemberut!" Gue menarik tangannya agar berjalan lebih dekat dengan gue.

Dia tak menjawab hanya lirikan tajam yang gue dapat.

"Iya aku minta maaf, aku salah."

"Ngapain minta maaf?"

"Karena aku salah."

Jangan mendebat ketika istri tantrum.

"Aku tuh capek El." Keluhnya sedikit merengek. Lucu juga ternyata kalau dia merengek seperti itu.

"Kan aku udah bilang mau aku gendong?"

"Kalau ngasih saran yang masuk akal dong! Emangnya kamu bakalan aman gendong aku? Jangan sok ngorbanin diri buat orang lain lha!" Katanya sedikit nyolot.

"Serius, aku masih kuat kok."

"Nggak!" Tolaknya dengan tegas.

"Terus sekarang solusi dari kamu gimana?" Yang perlu gue lakukan hanya mendengar keinginannya, daripada mendebat istri yang tantrum.

"Duduk sebentar aja, boleh gak?" Katanya sambil mengepalkan tangan memohon. Tatapan matanya benar-benar membuat gue iba.

Tidak ada pilihan selain mengikuti kemauannya. Dan berakhirlah gue duduk selonjoran dengannya di tangga darurat. Gue sedikit meliriknya, ternyata Syazani benar-benar terlihat lesu sekali. Dalam hitungan detik gue lihat matanya semakin terpejam. Syazani menjatuhkan kepalanya di atas bahu gue.

Kira-kira sepuluh menitan gue harus menahan pegal menopang kepala Syazani. Selain takut dikira gue melakukan yang tidak-tidak oleh staf yang melihat kami di sini, gue memutuskan untuk membangunkan Syazani. Dia mulai mengucek matanya dan gue buru-buru berdiri mengulurkan tangan membantunya ikut berdiri juga.

"El?" Panggilnya yang berjalan di belakang gue.

"Apa?"

"Aku belum makan," adunya.

"Terus?"

"Kamu bisa temenin aku makan gak?"

Terlintas ide usil gue. "Strawberry mangga apel."

"Aku lagi gak pengin makan buah."

Dasar polos.

"Aku juga gak nyuruh kamu makan buah."

"Terus apaan dong?"

"Sorry gak minat." Gue berjalan lebih cepat disusul olehnya sambil menarik kemeja bagian belakang gue.

"Ih, tadi kamu bilang mau nemenin. Nyebelin banget!" Kesalnya sambil mencubit lengan gue.

Sungguh ini bukan adegan romantis seperti di drama-drama. Gue malah merasa ngeri jatuh kalau becanda di tangga seperti ini.

"Please... El, ya?" Rengeknya memohon-mohon.

"Nggak."

"Ayolah... please..."

"Gak mau!"

Matanya mendelik tajam. Kedua tangannya disilang di dada. Syazani berjalan mendahului gue.

"Susah menghangatkan dinginnya antartika." Gumamya ketus meninggalkan gue.

Rasanya geli seraya membuat gue ingin tertawa. Hanya saja gue sadar, kalau gue tertawa marahnya akan semakin jadi. Nanti perkara menemani makan saja bisa jadi masalah besar kalau ketahuan gue menguji kesabarannya.

_____________


Sedikit ya, hehe. Besok aku update lagi kok 😉

 Besok aku update lagi kok 😉

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now