Teras 22 (1)

1.3K 177 12
                                    

Malapetaka

___________

Ya namanya juga Bos, pamit pada karyawan bukan keharusan.

Tatapanku terlempar pada punggung laki-laki yang sedang duduk di salah satu cafe. Malam ini aku terbebas dari lembur di kantor—beralih ke cafetaria. Tepatnya saat ini aku sedang berada di Sky Garden Cafe yang terletak di lantai 3A Hotel Rasuna Icon di daerah Jakarta Selatan. Sejak di rooftop tadi Pak Bos sudah mewanti-wanti agar aku bisa datang tepat waktu ke tempat ini.

"Saya ada permintaan, boleh?"

"Silakan."

"Saya bawa teman, tapi anda jangan protes."

"Oke."

Aku berjalan menghampiri salah satu meja yang berada di paling pojok. Dimana laki-laki itu sudah menempatinya duduk bersama lawan kencannya. Beberapa meja di sekitar
terlihat kosong yang diberi tanda silang merah. Dan itu merupakan aturan yang ditetapkan pemerintah selama  pandemi ini.

"Alana?" Alis laki-laki itu terangkat sebelah. Begitu melihat aku dan adiknya berdiri di hadapannya.

"Ingat tidak ada protes, Pak." Pesanku untuk mengingatkannya kembali, lalu duduk.

Air muka Pak Bos terlihat tidak senang. Ia langsung mengalihkan tatapannya pada iMac. Meja yang tidak terlalu besar itu dipenuhi banyak map besar, iMac, MacBook, dan juga one cup coffe—single espresso.

"Gak senang amat Kak ngelihat gue di sini." Sindir Alana, duduk.

"Hmm." Pak Bos berdeham.

Daripada terjadi lagi peperangan antar-saudara, aku memilih untuk segera mengalihkannya. "Yuk mulai darimana?"

"Coba ambil map merah yang itu!" El menunjuk salah satu map. "Di situ ada tiga kali pembayaran untuk PT. Zeinatama. Pembayaran pertama melalui debit card, pakai tiga kartu di sana. Yang kedua dan ketiga melalui bank transfer.

"Settlement dari EDC-nya juga di-attach bersama dokumen pendukung lainnya. Kartu pertama nominalnya 15 juta, kartu kedua nominalnya 20 juta, dan kartu ketiga nominalnya 10 juta. Coba kamu cek!"

Aku mengangguk, paham. Sesuai instruksi aku membuka map merah di dalamnya hanya terdapat satu dokumen yang telah disatukan.

Halaman pertama city ledger dari night audit. Halaman kedua, guest bill. Halaman ketiga invoice dan kuitansi. Dan yang selanjutnya berisikan confirmation letter, MoU.

Satu persatu mulai kubaca tanpa terlewatkan satu huruf pun. Pak Bos baru menemukan nominal yang berbeda saja antara confirmation letter dengan transfer dana.

"Pak, saya nemuin yang janggal. Di dalam soft copy invoice dalam file summary invoice tercantum nomor rekening perusahaan. Sedangkan setelah saya cek dalam hard copy, menggunakan nomor rekening pribadi. Bapak bisa lihat ini." Aku menunjuk catatan paling bawah dari invoice.

Si Bos menarik map-nya. Dia mengetuk-ngetukkan jari pada meja. "Bukti sudah jelas." Gumamnya.

"Kita adakan audit besok. Jangan sampai bocor ke yang lain!"

Aku mengangguk pelan dengan perintahnya. Ini seperti ultimatum. Bahaya juga untuk timnya Adit dan juga Yasmin. Biasanya jika sudah ada audit seperti ini akan cepat sampai ke telinga para komisaris. Belum lagi ini menyangkut dengan perusahaan yang terlibat, dan kemungkinan buruknya mereka akan membawa kasus ini ke jalur hukum.

Sudah hampir jam tujuh malam. Di atas ketinggian cafe ini pun telah terdengar seruan adzan isya. Sebelum aku izin pergi ke musola lebih dulu, Pak Bos sudah mendahuluinya tanpa pamit. Ya namanya juga Bos, pamit pada karyawan bukan keharusan. Setelahnya aku dan Alana yang pergi.

Jarum pendek  jam tangan menunjuk pada angka delapan. Kembalinya dari musola kami pun langsung memesan makanan. Aku memilih fish and chips dengan ice cappucino. Sedangkan Alana memilih fettucine basil  pesto dengan lychee ice tea. Dan Pak Bos sendiri memilih oxtail soup dengan equil.

"Saya pernah baca, minum teh atau kopi setelah makan itu kurang baik untuk kesehatan. Asam tannin dan polifenol dalam teh dapat mengganggu penyerapan protein dan zat besi.

"Jadi sia-sia aja gizi yang didapat dari makanan itu. Dan itu bisa membuat kita kekurangan zat besi sekaligus menderita anemia. Makanya disarankan kalau mau minum teh atau kopi harus dikasih jeda setelah makan." Jelasnya panjang lebar sebelum kembali mengunyah makanannya.

"Oh, pantesan Pak saya juga sering pusing." Celetukku.

"Bukannya tiap hari kamu pusing terus ya?"

Iya, pusingku karena menghadapi makhluk sejenis Bos ini benar-benar menguji kewarasan.

Pandanganku mengedar ke arah lain. Dimana ada beberapa pengunjung berjalan menenteng tas. Termasuk dua orang wanita di seberang sana yang sepertinya... aku kenal. Tante Dewi?

"Saya harap audit nanti tidak akan bocor. Dan kamu jangan sampai keceplosan juga,-"

"Pak, nunduk!" Aku memotong ucapannya sambil segera meraih buku menu di depan dengan langsung menutupi wajah.

"Tante Wina?"

Mulutku sedikit menganga begitu melihat Alana berdiri dan melambaikan tangan pada dua orang yang justru kuhindari. Tak hanya itu kesialanku malam ini dilengkapi dengan gaya celingak-celinguk ala Pak Bos. Yang entah pura-pura tidak tahu atau malah sengaja ingin mendorongku ke dalam jurang keterpurukan.

_________

Nah lho Zani, ketemu Tante Dewi lagi tuh!

Sedikit banget part kali ini? Iya tahu kok, cek ombak dulu aja, hehehe. Next chapter janji lebih panjang.

Btw, thank you ya respons kalian kemarin. Itu bikin aku semangat buat nerusin lagi.

Ketemu lagi Jumat depan ya, insyaAllah!!!

Jazakumullah khairan katsiran.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now