Teras 31

1.7K 225 38
                                    

Jari Manis

Setelah menikah kamu tidak hidup dengan fisiknya melainkan sifatnya. Sebab yang menemanimu kelak setelah menikah adalah kesetiaannya bukan orangnya. Yang menafkahimu adalah tanggung jawabnya, yang memuliakanmu adalah akhlaknya, dan yang akan membawamu hingga ke surga adalah imannya bukan orangnya.

_______________


Aku melirik ibu yang sedang ikut membereskan sayuran di dalam kulkas.

“Ibu suka?” tanyaku. Fokusku masih pada cucian piring kotor di sink.

Hening. Suara laci sayuran tak terdengar lagi. Aku menoleh ke belakang tepat dimana ibu berada. Ibu menatapku bingung, tangannya masih memegang lettuce.

“Suka apa?” ibu balik bertanya.

“Suka Pak Adnan.” Kataku datar.

Ibu terkekeh. Suara laci kulkas terdengar didorong kembali. “Ngaco kamu! Masa ibu suka sama Adnan?!”

Aku tahu ibu paham maksudku. Namun karena tidak ingin terlalu kontras memahami maksudku, ibu pun memilih untuk pura-pura.

“Ibu senang kalau Pak Adnan jadi bagian dari keluarga kita?”

“Maksud kamu?” ibu menghampiriku.

“Menjadi menantu ibu?” aku menatap lekat-lekat ibu.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu Kiya?” ibu kembali berjalan membelakangiku.

“Gak apa-apa, aku hanya tanya bu.”

Jeda beberapa detik di antara kami yang memilih untuk saling diam. Sampai ibu kembali memulainya dengan sebuah petuah.

“Ibu menyukai apapun yang Kiya sukai. Ibu tidak mau menjadi orang yang paling egois pada putri ibu satu-satunya. Kalau Kiya tidak suka, jangan pernah paksakan, nak.”

Hatiku merasa tersentil. Seketika kakiku bergerak menghampiri ibu. Kupeluknya erat-erat dari belakang, sampai-sampai membuat ibu sedikit terlonjak dengan yang kulakukan. Kusandarkan kepala di pundak ibu. Merasakan betapa hangatnya kasih dan beruntungnya saat ini aku masih didampingi ibu. Entah akan seperti apa hidup ini jika ibu tak ada di sampingku. Mungkin duniaku akan runtuh jika tanpa ibu.  Kehilangan ayah saja sudah membuat pondasi hidupku pincang.

“Terima kasih ya bu untuk semuanya.” Lirihku.

“Terima kasih untuk apa?”

“Untuk semuanya bu. Untuk semua yang dengan besar hati ibu korbankan untukku.”

Ibu mendengus tertawa, “kamu ini bicara apa sih?”

Aku menggeleng pelan. Bismillah. “Aku boleh minta tolong bu?”

“Apa?”

“Ibu boleh minta Paman Arman jadi waliku?”

Sontak ibu memutar badannya menghadapku. Tatapannya berubah serius bercampur bahagia. “Kamu serius? Mau nikah sama siapa?”

Aku menghela napas dalam-dalam. Kemudian tersenyum lebar menatap ibu. “Dengan Pak Adnan bu.”

Ibu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Terpancar raut bahagia menghiasi wajahnya dengan sepasang manik yang mulai menggenang. “Bukan karena ibu kan? Apa ini semua terpaksa kamu lakukan?”

InsyaAllah, karena Allah bu.” Tegasku yang membuat senyum serta tangis ibu mulai pecah.

Aku semakin mengeratkan pelukan pada ibu. Kami tertawa dengan mata yang sudah berair. Terdengar beberapa kali ibu mengucapkan syukur. Mendengar dan melihat ibu sebahagia ini membuat hatiku semakin menghangat.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now