Teras 9

1.7K 197 3
                                    

CCTV
_________

Menjelang kepala tiga, udah gak kepikiran masalah kriteria. Yang penting siapa duluan datang ke rumah, itu pemenangnya. Udah bukan cari kecocokan lagi, tapi dicocok-cocokin aja.



"Kenapa ... kenapa?" Tiga manusia yang ingin tahu itu mengikutiku.

Aku menjatuhkan diri di kursi setelah keluar dari ruangan panas milik Bos arogan, lalu membuang napas kesal.

"Si Bos nyari gara-gara, masa gue disuruh datang ke salah satu tempat, nanti hari Minggu coba? Di luar jam kerja dong," aku memicing sebal.

"Ngapain?" Tanya Ana dengan alis beradu.

"Mana gue tahu," aku mengangkat bahu.

"Kok bisa? Emang ceritanya gimana?" Reynan ikut menimpali.

Aku menghadapkan kursi pada mereka. Lalu kedua mataku memeriksa sekitar. Setelah aman baru melanjutkannya kembali.

"Tadi kan gue nyiram dia, terus dia ngasih hukuman ke gue buat nyuci kemeja dia yang gue siram. Awalnya gue terima-terima aja karena cuma cuci baju doang, kan?

"Terus tiba-tiba dia nyodorin hpnya ke gue, ada bangunan tua sama alamatnya juga. Dan sialnya dia nyuruh gue ke sana."

"Lo gak nolak?" Mbak Rara memotong.

"Gimana gue mau nolak, dia ngancam gue kalau gak mau dia bakalan nyuruh kawanan preman buat nyeret gue." Jelasku.

Reynan menarik kursinya untuk lebih dekat dengan kawanan perempuan. "Terus lo percaya?"

Aku mengangguk. Meskipun sedikit ragu. "Masalahnya, setelah dia nyuruh gue ke alamat itu, gue nyiram dia lagi.  Kali ini ke wajahnya. Coba deh pikir, ngapain harus ngajakin gue ke tempat begitu? Kurang ajar, kan?"

"Lo gak nanya dulu, alasan dia apa?" Tanya Ana.

Kepalaku menggeleng cepat. Kenapa juga aku tidak terpikirkan?!

"Zani ... Zani, lo itu pintar. Tapi masalah kayak gini lo sama sekali gak gunain otak lo tahu gak?! Mana mungkin sih dia nyuruh preman buat nyeret lo? Pikir dong, Zan!" Ujar Reynan sarkas.

Sekarang aku semakin ragu.

"Mungkin aja, kan? Kita gak tahu niat orang juga."

Reynan kembali mendengus tertawa, "lo takut?"

"Ya iyalah, kalau dia sampai nyulik gue terus ngemutilasi, atau ngelecehin gue, gimana?" Aku sedikit nyolot.

"Sampai ke sana pikiran lo?" Ana melongo.

Aku mengangguk sangat yakin dengan kegelisahanku sendiri, "tadi kan, sebelumnya lo yang bilang gitu, ya, gue ... kepikiran lha."

Ketiganya menggelengkan kepala, lalu kembali ke kubikel masing-masing. Mereka sudah membawa tasnya dan bersiap pulang.

"Lo kirim alamatnya, nanti kita anterin lo ke sana kalau lo takut." Tukas Reynan sambil menyampirkan tas punggungnya.

"Terus keluarga kalian? Weekend kalian?" Aku nyerocos.

"Okay, no prob. We arrange everything, nanti janjian tempatnya di WhatsApp group aja." Ana menaikan kedua alisnya.

Aku mengangguk semangat, juga sedikit lega mendengarnya. Senyumku pun akhirnya kembali bersinar. Setidaknya kalau terjadi sesuatu, masih ada yang bisa membantuku di sana nanti.

"Bye, happy overtime!!!" Reynan melambaikan tangannya mengejek begitu jam dinding menunjukkan jam lima tepat.

Sungguh menyebalkan. Aku mengepalkan tangan ke atas. Ingin sekali rasanya memukul kepalanya itu. Agar otaknya tidak korslet. Walaupun tidak selalu, kadang sosok Reynan bisa diandalkan juga, dan dia pun sewaktu-waktu bisa lebih dewasa daripada kami semua.

Teras Kota (Overheard Beauty)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz