Teras 22 (2)

1.4K 179 16
                                    

"Pak, saya pamit pulang ya?" Aku mundur beberapa langkah demi menghindari Tante Dewi yang sedang berbincang dengan Alana dan Bu Wina.

Kening Pak Bos mengernyit kebingungan. Aku menarik tas dari kursi dan segera menutupi wajah. Tanpa menanti jawaban Pak Bos, secepat mungkin aku menjauh dari tempat kami berdiri saat ini. Sebelum detik demi detik Tante Dewi akan segera menyadari kehadiranku di sini.

Pulang di atas jam delapan malam sesungguhnya bukanlah kebiasaanku. Dan malam ini merupakan pengalaman pertamaku. Rasanya ragu sekali untuk memesan taksi ataupun ojek online. Begitu pun alasan utamaku mengajak Alana malam ini selain untuk mengurangi tindakan khalwat antara aku dan Pak Bos, alasan lainnya agar ada teman perempuan yang menemani perjalananku kali ini.

Dalam keadaan antara bingung dan hampir menyerah, kepalaku secara otomatis menoleh kanan-kiri. Berharap ada pengemudi perempuan yang bisa aku tumpangi untuk pulang. Aku terus mengawasi sekitar yang juga terasa semakin sepi. Ini Jakarta, yang tak pernah sepi penduduknya namun berbeda di kala pandemi seperti ini. Mungkin kebanyakan orang memilih untuk tetap bertahan tinggal di rumah masing-masing ketimbang harus bepergian dengan potensi tertular. Hanya orang-orang yang terlampau berani menantang bahaya—sepertiku yang datang ke public area dengan tujuan meeting dadakan. Entahlah apakah ini layak dikatakan meeting dengan jumlah peserta hanya satu orang saja?

Ponsel masih kupegang erat-erat tanpa berniat untuk membuka aplikasi hijau untuk segera memesan kendaraan untuk pulang. Aku masih ragu untuk melakukannya. Tak ada satu ide pun yang muncul di saat sedang panik seperti ini. Kedua jariku saling meremas handphone sambil terus menggigit-gigit bibir bagian dalam.

"Ayo, naik!"

Sebuah mobil Mercy C200 berwarna hitam berhenti tepat di depan aku berdiri saat ini. Kacanya sengaja dibiarkan terbuka sehingga menampakkan dua orang duduk berdampingan.

"Naik! Saya hitung mundur dari lima kalau tidak saya tinggalin kamu biar sekalian jalan sendirian." Ujarnya sarkas.

Daripada aku harus pingsan ketakutan di sini, lebih baik kusetujui saja perintahnya itu. Buru-buru kubuka pintu penumpang dan duduk di belakang mereka.

"Kak Zani sorry, tadi aku keasyikan ngobrol sama Tante Wina sampai gak sadar kalau Kak Zani udah pulang duluan."

"Hampir. Bukan pulang duluan."

Nyambar saja manusia itu, jelas-jelas adiknya berbicara padaku bukan padanya. Aku mendelik tak suka ke arah spion depan.

"Sorry ya Kak," sesal Alana mengabaikan ucapan kakaknya.

Aku hanya meringis menatap Alana dari belakang, disertai mengangguk.

"Malam ini kamu utang banyak sama saya."

Keningku berkerut mendadak. Utang apalagi yang dia maksud?

"Jangan pura-pura bingung. Pertama, kamu ninggalin restoran sebelum bayar pesanan kamu. Kedua, malam ini saya ngantar kamu pulang. Secara otomatis bahan bakar mobil saya terpakai. For your information, bahan bakar mobil saya harganya juga  cukup mahal. Seharusnya dari tadi saya pasang tarif argo buat kamu."

Pupil mataku melebar penuh. Aku melongo mendengar penjabarannya. Dasar Bos pelit, perhitungan sekali. Sepertinya tidak ada di dalam hatinya terselip keinginan untuk berbagi kepada bawahannya. Hidupnya perhitungan sekali, pantas saja tak ada perempuan yang berani mendekat.

"Bukannya Bapak yang menawarkan diri untuk mengantar saya?" Aku berusaha membela diri.

"Bagian mana yang menurut kamu ada kata-kata saya menawarkan diri?" Balasnya dingin.

Teras Kota (Overheard Beauty)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz