Teras 42

1.4K 227 30
                                    

Jarak

Ada sebuah waktu, dimana kita bisa berada di titik terdalam untuk menghargai perjumpaan. Sebab kehadiran seseorang merupakan esensi yang ketika ketidakhadirannya akan terasa berbeda.

____________



Ternyata yang berat itu bukan menahan rindu, tetapi meratapi jarak. Sadar atau tidak bahwa jarak itu yang paling jahat. Seringkali memisahkan tanpa mempertemukan kembali. Walaupun durasinya hanya sementara, tetap saja untuk membiasakannya agak sulit. Apalagi bagi yang perdana merasakan dipisah jarak.

Kemarin usai shalat subuh, El berangkat ke bandara diantar oleh Pak Iman. Awalnya aku berniat untuk mengantar, namun urung setelah mendapati El komat-kamit hanya karena dia melupakan sesuatu yang tertinggal di kantor. Entah barang apa itu.

Semua kebutuhannya dia siapkan sendiri. Bukan karena aku tidak ingin membantunya, tetapi dia seolah tidak ingin dibantu. Aku sempat menawarkan diri, namun ditolaknya dengan alasan hanya akan membawa beberapa barang saja dan itu tidak membutuhkan waktu yang lama. Namun faktanya sampai tadi jam tiga pagi, dia masih gedebak-gedebuk.

Penawaran kedua kali aku sampaikan saat itu juga. Dengan tegas dia mengatakan 'tidak usah'. Akhirnya aku hanya menjadi penontonnya yang terlihat sibuk mengemasi barang-barangnya. Menurutku tidaklah sulit untuk meminta bantuan. Aku juga tidak akan banyak berkomentar saat membantunya. Setelah pulang dari masjid, dia buru-buru berganti pakaian dan langsung menelepon Pak Iman untuk segera menjemputnya.

Sebelum berangkat dia sempat mengatakan, "be careful, I will be home soon." Katanya sambil mengelus pucuk kepalaku.

Bukan El namanya jika tidak ada hal mengejutkan yang dia buat. "Don't mess! Even if I wasn't there, I would have known about it."

Itu seperti sebuah ancaman bagiku. Well... I don't care. Memangnya dia punya mata berapa sampai berani mengancam seperti itu? Terkadang aku heran dia sering bersikap manis di malam hari, dan paginya berubah mode T-rex.

Kantor terasa leluasa dengan tidak hadirnya bos. Dan ketika bos pergi dinas itu menjadi surganya para cungpret. Seluruh beban terhempaskan begitu saja. Tim akunting menjadi tim yang paling santai per hari ini sampai sepekan ke depan. Namun hal itu tidak berlaku bagi Reynan. Si anak emas pak bos. Ketika El tidak ada, sementara waktu pekerjaannya di handle oleh Reynan. Best employee dari tahun ke tahun.

"Kok lo gak ikut makan siang sama Ana sama Rara, Zan?" Tanya Mbak Emil.

"Mereka makan siang bareng suaminya. Gak mungkin kan kalau gue harus makan siang sama Reynan?"

Mbak Emil terkekeh. Kami kembali menikmati soto Bandung yang ada di food court kantor.

"Kursinya kosong kan?"

Spontan aku dan Mbak Emil melirik kepada laki-laki yang sudah berdiri di depan kami sambil membawa nampan. Aku dan Mbak Emil mengangguk pelan.

"May I join you?" Tanyanya hati-hati.

Aku dan Mbak Emil saling melempar tatapan, kemudian Mbak Emil berdeham. "Oh... of course." Jawabnya sambil tersenyum.

Suasananya berubah menjadi canggung. Kami makan dalam hening. Tidak ada obrolan apapun selain hanya fokus terhadap makanan masing-masing. Padahal ketika sedang makan bersama disunnahkan untuk berbincang-bincang. Dengan demikian keakraban bisa terbangun di antara anggota yang ikut makan.

Hening terjadi cukup lama. Mbak Emil  seperti kehabisan kata untuk memulai obrolan. Tidak seperti biasanya dia  yang akan mulai obrolan. Selalu ada pembahasan yang dia keluarkan untuk menciptakan kehangatan saat makan. Mungkin karena tidak tahan hanya dengan saling diam, Adit pun mengalah dan mulai membuka suara.

Teras Kota (Overheard Beauty)On viuen les histories. Descobreix ara