Teras 4

2.4K 245 15
                                    

All About Boss
__________

Predikat jomblo itu bukan berarti gak laku, hanya belum tepat waktu saja. Sebagai jomblo berkelas tidak perlu mengobral diri untuk terkesan laku. Cukup diam, dan tiba saatnya sebar undangan tiba-tiba.

Adnan El-Fatih Sawqi, berkulit putih, hidung mancung, rambut  hitam tebal, dan... outlier dia manusia normal. But, aku rasa ada janggal dari tampilan luarnya. Pengganti Bu Nindi ini agaknya berbeda. Dia hobi lembur, tidak suka typo, senang memerintah—namanya juga bos. Agaknya aneh manusia satu ini yang dengan senang hati bekerja selama dua puluh empat jam.

Dari hasil penelitian sementara, aku menemukan ketidak wajaran dengan laki-laki satu ini. Nampaknya dia senang melakukan hal-hal yang orang lain tidak suka. Selain hobi bekerja dia juga hobi belajar. Lima  bahasa berhasil dikuasainya. Dari CVnya tercatat bahwa dia lulusan terbaik sastra Jepang di Universitas Gadjah Mada. Bukan hanya sastra Jepang yang diambilnya, dia juga menyelesaikan program Pascasarjananya sebagai Master Finance di  Massachusetts Institute of Technology. Wajar saja kalau perusahaan menawarkannya langsung sebagai Head Of Finance Corporate.

Semua informasi tersebut hasil ketidaksengajaan aku membaca profil lengkapnya yang diletakkan begitu saja di atas meja milik personalia paling cetar se-KAIA. Siapa lagi kalau bukan Emilia Sarah. Aku tak sengaja membacanya saat akan menyerahkan formulir cuti dua hari yang lalu. Setelah meninggalnya ayah, aku meminta izin untuk tinggal beberapa hari di Bandung menemani ibu.

Tidak tega meninggalkan Ibu sendirian, aku bermaksud mengajak Ibu untuk tinggal bersama di Jakarta. Namun sayangnya, Ibu menolak ajakanku. Dengan alasan Ibu tidak ingin meninggalkan kota kembang. Sebenarnya aku diliputi rasa bimbang. Memilih untuk meninggalkan Ibu sendirian atau meninggalkan pekerjaan di Jakarta dan tinggal bersama Ibu di Bandung. Dan Ibu menyarankan sementara waktu sebelum mendapatkan pekerjaan di Bandung, Ibu meminta untuk bertahan di Jakarta. Akhirnya aku pun setuju, dan menitipkan Ibu kepada Paman dan Bibi yang memang tempat tinggalnya tidak jauh. Letaknya di depan rumah dan hanya berjarak beberapa meter saja.

"Mbak, ini profilnya Si manusia kul,-" aku menyadari ada kesalahan dalam ucapanku.

"Maksudku Pak El." Aku meralat.

"Lo udah baca?" Mbak Emil panik.

Aku mengangguk santai.

"Semua?"

Aku kembali mengangguk.

"Astagfirullah, kok lo main baca aja sih?" Umpatnya yang terdengar olehku.

"Gue minta maaf, gue gak sengaja mbak. Emang apa sih mbak?" Tanyaku penasaran.

Mbak Emil berbalik badan mendekat padaku yang sedang duduk. Dia berjalan lalu duduk di atas meja kebesarannya.

"Zan, lo janji ya jangan bocorin?" Pinta Mbak Emil.

"Bocorin apa sih?" Aku mengerutkan kening.

"Ya profilnya Pak El." Jawab Mbakbak Emil.

Memangnya begitu penting ya? Perasaan yang aku baca hanya seputar pendidikan, tanggal lahir, nama lengkap, agama, dan tempat tinggal saja. Tapi Mbak Emil begitu terlihat panik saat mengetahui aku telah membacanya.

"Gue bacanya biasanya aja Mbak, kayaknya gak ada rahasia-rahasianya deh."

Mbak Emil mencondongkan tubuhnya ke depanku. Lalu berbisik. "Lo, baca yang mana?"

Aku menunjuk kertas di depannya. Tatapan Mbak Emil perlahan turun ke arah kertas yang ada di bawah sikunya. Terdengar dia bernapas lega.

"Alhamdulillah ... selamat." Gumamnya.

Teras Kota (Overheard Beauty)Where stories live. Discover now